KOMISIONER KPU KALIMANTAN UTARA

Foto bersama Komisioner KPU dan sekretaris Kalimantan Utara 2015-2019

I'M JOURNALIST, NOT YOUR ENEMY

Menjadi seorang jurnalis Televisi adalah pengalaman yang sangat luar biasa, terimakasih Publik Khatulistiwa Televisi (PKTV) dan IJTI Kaltim

MENDIDIK ADALAH KEWAJIBAN

Sebuah perjalanan dan kehormatan dapat mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar dan waka kesiswaan di SMK Manahijul Huda Pati

LIPUTAN ADALAH HOBI

Memberikan sebuah fakta kepada masyarakat melalui layar kaca adalah sebuah kepuasan batin tersendiri

BERKIBAR PANJI GERAKAN

Pergerakan merupakan gerakan dari titik yang tidak baik menuju baik, dari yang baik menuju yang lebih baik...tidak stagnan

"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Minggu, 14 Desember 2008

Pendidikan Mahal

PENDIDIKAN MAHAL; DALIL PENINGKATAN MUTU
PENDIDIKAN DI INDONESIAOleh : Chairullizza

Kita menyakini bahwa di bidang pendidikan dan pendidikan sendiri merupakan aset bangsa yang paling berharga. Ia adalah modal urgen untuk bangkit dari keterpurukan yang telah lama menimpa kita sekaligus membangun masyarakat Indonesia ke depan. Namun sungguh ironis, realitas pendidikan kita saat ini ternyata berbicara lain. Pendidikan dinilai belum berhasil menciptakan manusia-manusia Indonesia yang kritis, humanis dan transformatif, apalagi menciptakan kualitas suatu bangsa.

Banyak persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Salah satunya adalah persoalan anggaran pendidikan. Kita semua paham bahwa anggaran pendidikan di negeri ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. I’tikad baik pemeritah hanya sebatas retorika yang tidak pernah terbukti. Padahal berbagai gugatan masyarakat terhadap pemerintah menyangkut tanggung jawabnya yang rendah dalam pembiayaan pendidikan warganya telah lama dilontarkan. Namun sampai sekarang belum ada perbaikan signifikan. Kehendak baik pemerintah baru muncul dalam konstitusi baru yang merupakan hasil amandemen UUD 1945.

Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, hasil amandemen itu menyebutkan : "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Hal tersebut diperjelas lagi dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 49 ayat (1), "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)."

Selain itu, UU No 20/2003 Pasal 34 Ayat 2 juga menyebutkan pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Dari teks yuridis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk sektor pendidikan yakni 20 persen dan jaminan pendidikan dasar gratis. Sayang kehendak baik itu tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Setiap memasuki tahun ajaran baru selalu terdengar keluhan masyarakat berkaitan dengan persoalan tingginya biaya pendidikan yang harus dibayar. Bahkan, hal tersebut terasa mencekik leher masyarakat yang kemampuan ekonominya tergolong kurang maupun tidak mampu. Begitu pula dengan tahun ini, berbagai keluhan masyarakat ramai terdengar. Mahalnya biaya pendidikan yang kian diperparah dengan masih maraknya pungutan-pungutan liar. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Secara umum masyarakat masih banyak yang kurang memahami sistem manajemen Berbasis Sekolah (MBS) meskipun telah dilakukan sosialisasi melalui penayangan di semua stasiun televisi serta iklan layanan masyarakat. Ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan Februari 2004 yang menemukan data 86,3% responden guru mengenal program tersebut dan 13,7% belum mengenalnya. Yang lebih memprihatinkan adalah untuk orangtua siswa, hanya 21,2% yang mendengar program ini, sedangkan 72,4% tidak pernah mendengarnya. Di negara Australia dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Tetapi di Indonesia MBS justru dimaknai lain, yaitu untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, tidak heran bila MBS kemudian diplesetkan menjadi “masyarakat bayar sendiri”.

Mahalnya biaya pendidikan itu mengingatkan kita pada fenomena di zaman kolonial. Dulu, meminjam analisisnya Nakoela Soenarta, biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras rata-rata Rp 4.500 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 54 juta per mahasiswa per tahun.

Biaya pendidikan di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, ialah sebesar 5,60 gulden per siswa dalam sebulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 1.008.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak anak-anak bangsa saat itu yang masuk ke Ambachtschool atau Technische School karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, peserta tidak tidak akan menjadi penganguran.

Selain alasan tersebut, mahalnya biaya pendidikan disebahkan oleh sikap pemerintah yang memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya, timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini.

Kalau biaya sekolah negeri sudah tidak terjangkau lagi oleh masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah, apalagi sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 62 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit mahalnya pendidikan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.

Fenomena pendidikan mahal tidak bisa dilepaskan dari peran neoliberalisme, yakni ideologi baru kapitalisme. Neoliberalisme merupakan paham yang mempromosikan pasar bebas dan antisubsidi. Target yang ingin diwujudkan adalah kesetaraan individu, perwujudan maksimalisasi provit, privatisasi, dan minimalisasi public spending. Dalam pendidikan, yang paling bisa kita lihat adalah pengurangan subsidi sebagaimana yang diperintahkan WTO.

Membaca problem-problem mahalnya biaya pendidikan seperti yang dikemukakan diatas, maka sudah tiba saatnya melakukan perubahan sistem pendidikan kita. Untuk kepentingan itu, setidak-tidaknya ada tiga langkah taktis-strategis yang harus menjadi daerah perhatian dan perlu mendapatkan penanganan segera dari pemerintah dan para pengelola lembaga pendidikan
Pertama, Pemerintah secepatnya merealisasikan 20 % anggaran sektor pendidikan dari APBN dan APBD agar masyarakat memperoleh haknya untuk mengenyam pendidikan yang murah dan berkualitas. Anggaran pendidikan ini merupakan salah satu elemen yang penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada tahun 2006, anggaran pendidikan hanya mencapai 8,1 persen. dan diharapkan anggaran pendidikan secara bertahap mencapai 20 persen pada 2009. Hal ini harus didukung dengan konsistensi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan dapat menyelamatkan uang negara sehingga sampai kepada yang berhak menikmatinya.

Kedua, perubahan orientasi pendidikan yang bersifat mekanistis-positivis menuju pendidikan humanis. Artinya visi pendidikan bukan untuk memenuhi kepentingan akumulasi modal dan pasar yang memposisikan manusia sebagai robot atau mesin tapi untuk mencerdaskan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, Indonesia sebagai anggota-anggota WTO mendorong kepada negara-negara anggota WTO untuk tidak memasukkan pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan atau dijualbelikan. Hal ini disebabkan liberalisasi pendidikan menjadi konvensi WTO dan mendapatkan persetujuan dari kebanyakan anggotanya, terutama anggota dari negara-negara maju yang tentu saja lebih siap menjalankan praktik globalisasi itu sendiri.

Perbaikan mutu pendidikan yang selama ini diidentikkan dengan mahalnya biaya pendidikan akan terjawab apabila agenda pokok diatas dapat terealisasikan. Dengan peran pemerintah ini, para pengelola lembaga pendidikan tidak lagi membebankan biaya pendidikan pada peserta didik. Dengan ini, di masa depan tidak akan terbentuk jurang sosial yang memisahkan mereka yang dibekali pendidikan bermutu yang hanya didapat oleh kalangan kaya dengan mereka yang tidak mampu membayar pendidikan. Dan akan tercipta kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan antara si kaya dan si miskin. [r]


CATATAN RULLY