KOMISIONER KPU KALIMANTAN UTARA

Foto bersama Komisioner KPU dan sekretaris Kalimantan Utara 2015-2019

I'M JOURNALIST, NOT YOUR ENEMY

Menjadi seorang jurnalis Televisi adalah pengalaman yang sangat luar biasa, terimakasih Publik Khatulistiwa Televisi (PKTV) dan IJTI Kaltim

MENDIDIK ADALAH KEWAJIBAN

Sebuah perjalanan dan kehormatan dapat mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar dan waka kesiswaan di SMK Manahijul Huda Pati

LIPUTAN ADALAH HOBI

Memberikan sebuah fakta kepada masyarakat melalui layar kaca adalah sebuah kepuasan batin tersendiri

BERKIBAR PANJI GERAKAN

Pergerakan merupakan gerakan dari titik yang tidak baik menuju baik, dari yang baik menuju yang lebih baik...tidak stagnan

"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Jumat, 22 Januari 2010

Penerapan Pola Pertanian Mandiri Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani


Dunia pertanian kita telah dikejutkan oleh panen raya yang diselenggarakan oleh kelompok petani “Tani Rukun” di persawahan “Nggayang” desa Ngagel, Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah pada tanggal 5 November 2009. Dimana para petani kelompok Tani Rukun mampu melakukan panen padi hingga 17,6 ton/ha dengan biaya produksi yang lebih rendah.
Penerapan pola pertanian selama ini yang hanya berorientasi pada hasil produksi pertanian yang tinggi telah merubah budaya dan pola pikir petani, dari petani tradisional yang sebelumya mandiri menjadi petani yang kurang mandiri. Dari penerapan pola pertanian slama ini telah menjadikan petani makin banyak bergantung kepada pihak-pihak diluar petani. Dari mulai pengadaan bibit, pupuk kimia, pestisida kimia dan harga jual produk pertaniannya.
Dampak penggunaan pupuk kimia selama ini yang terus-menerus dan dalam waktu yang lama tanpa disadari telah berpengaruh terhadap kondisi tanah pertanian. Bahan kimia yang meresap dalam tanah tersebut akan mematikan zat-zat renik yang berguna untuk menyuburkan tanaman. Selain itu, penggunaan pestisida (racun) kimia berdampak rusaknya keaneka ragaman hayati. Penggunaan pestisida kimia yang tujuannya untuk membunuh hama, tanpa disadari juga membunuh hewan-hewan yang menguntungkan petani (konco tani). Disamping itu penggunaan pestisida kimia juga merusak rantai makanan yang ada di areal pertanian.
Dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan petani, kelompok petani “Tani Rukun” melakukan ujicoba yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pihak-pihak diluar petani  dan berusaha untuk bertani yang lebih ramah lingkungan. Sebisa mungkin, petani Tani Rukun menghindari “membunuh” hama, akan tetapi yang mereka lakukan adalah mengusir hama. Membunuh hama hanya dilakukan jika memang benar-benar dalam keadaan terpaksa, itupun dengan menggunakan pestisida alami yang mereka buat sendiri yang harganya jauh lebih murah.
Sekarang, anggota kelompok petani “Tani Rukun” mulai mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia dan mulai menoleh kembali terhadap penggunaan pupuk dan pestisida alami, dimana penggunaan ini sebenarya merupakan pintu masuk dan sebagai alat bagi petani untuk mengurangi ketergantungan petani dalam rangka melepaskan diri dari ketergantungan bahan kimia selama ini.
Pola pertanian yang dilakukan adalah pada waktu pengelolaan tanah, para petani menggunakan singkal (pembalikan tanah), tidak sekedar di-Lebek (membenamkan rumput), menggunakan pupuk organik (kompos), cara tanam yang biasanya antara 4-7 bibit per titik dengan jarak 18-20 cm menjadi 1-2 bibit per titik dengan jarak 23 cm dengan sistem tanam “legowo”. Untuk proses pertumbuhan padi, petani memanfaatan urine sapi yang mengasilkan nitrogen. selain itu urine sapi dan empon-empon juga dapat membantu mengusir hama. Para petani juga memanfaatkan serabut kelapa yang direndam yang dapat menghasilkan kalium untuk membuat padi lebih berisi. Para petani juga menggunakan pestisida yang terbuat dari serabut kelapa dan berambut padi.
Hasil dari metode ini, dapat dihasilkan tanaman padi dengan kondisi batang lebih tinggi, kokoh dan ulen (tangkai) padi yang lebih panjang. Biji padi dari ujung sampai pangkal terisi penuh. Selain itu, pada saat panen, daun padi relatif kelihatan masih hijau.
Dengan pola pertanian ini, petani dapat meningkatkan produksi pertaniannya melalui daya kreatifitas dan keterampilan kerja petani untuk menuju efisiensi dan efektifitas kerja yang berdampak pada hasil kerja dan kesejahteraan petani. Hal ini terbukti dengan hasil panen yang awalnya hanya 6-7 ton/ha, dengan menggunakan pola pertanian tersebut, kelompok petani “Tani Rukun” dapat panen hingga 17, 6 ton/ha dengan biaya yang lebih rendah. Dengan pola pertanian ini juga dapat menurunkan tingkat ketergantungn petani terhadap pihak-pihak lain yang mempunyai kecenderungan merugikan petani.
Kendala produksi yang dialami anggota petani “Tani Rukun” selama ini adalah para petani dihadapkan dengan masalah pengairan. Lahan pertanian “Nggayang” adalah lahan tadah hujan, jadi pada musim kemarau menjadi soal yang sangat memusingkan bagi petani. Hal tersebut dikarenakan lokasi lahan persawahan “Nggayang” tidak tersedia saluran irigasi. Padahal, para petani hanya dapat menanam dimusim kemarau, karena saat musim penghujan, areal persawahan “Nggayang” dilanda banjir….Chairullizza

Senin, 18 Januari 2010

Mengenang Bapak Pluralisme Indonesia (KH. Abdurrahman Wahid)

Kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, ras, agama maupun perbedaan pandangan dan pendapat dalam melihat realitas merupakan kekayaan dan kebangaan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain. Hal ini terbukti bahwa mulai kerajaan majapahit, mataram, sriwijaya, kerajaan Islam Demak sampai pada lahirnya Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya, suku, bahasa, keyakinan dan agama. Pluralitas suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Berbicara mengenai pluralisme di Indonesia, pembicaraan pasti akan mengarah kepada sosok Abdurahman Wahid atau yang lebih popular disapa Gus Dur. Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri kiai bisri syansuri). Beliau dilahirkan pada tanggal 4 sya’ban atau 7 september 1940 di kota Jombang-Jawa Timur tepatnya di Denayar yaitu: dalam rumah kakek dari pihak ibunya Kiai Bisri Syansuri. Kota Jombang yang terkenal dengan daerah tapal kuda yang merupakan basis pondok pesantren (kalangan islam tradisonalis). Nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman al-Dakhil, adapun nama Wahid diambil dari nama ayahnya Wahid Hasyim. Adapun kakek Gus Dur dari pihak bapak adalah pendiri Nahdlatul Ulama yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu organisasi sosial keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia bahkan di dunia.
Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila Gus Dur membanggakan warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apapun yang dikatakan orang mengenai manuver Gus Dur menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang mendalam terhadapnya. Gus Dur di kenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa di terimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia modern. Latar belakang faham keislaman tradisional –faham ahlussunnah wal jama’ah- serta pemikirannya yang liberal, Islam menurut Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung keragaman dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam lebih inklusif, toleran, egaliter dan demokratis.
Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari Gus Dur adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, penganut kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak di untungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini. Dengan kata lain, Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam.
Gus Dur merupakan orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Beliau sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih bagi Gus Dur, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah kayakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan, kelas, suku, ras, gender atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Gus Dur, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara.
Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Gus Dur dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi kebudayaan misalnya semua simbol atau identitas harus menggunakan ekspresi kebudayaan Arab. Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan kreativitas kebudayaan umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus utama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses arabisasi adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri.
Ide pribumisasi Islam Gus Dur merupakan kebutuhan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan dalam segi kehidupan bangsa. Pribumisasi Islam merupakan upaya dakwah (pola amar ma’ruf nahi mungkar diselaraskan dengan konsep mabadi khoiro ummah). Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Bahkan Gus Dur menolak adanya pencampuradukkan kebudayaan baik oleh kalangan agama maupun kalangan birokrasi karena kebudayaan sangat luas cakupannya yaitu kehidupan sosial manusia (human social life) itu sendiri. Birokratisasi kebudayan yang dilakukan akan menimbulkan kemandekan kreatifitas suatu bangsa. Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan pluralistic, pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan kata lain sentralisasi adalah sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya.
Gus Dur mengatakan demi tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Dalam konteks ke-Indonesi-an yang pluralistik hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena dalam satu aspeknya adalah merupakan agama hukum.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik ini, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, bagi Gus Dur, pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik. Chairullizza


Globalisasi dan Tantangan Pesantren di Pati


Salah satu bentuk pendidikan yang harus dan tetap di pertahankan dan dilaksanakan adalah pendidikan agama. Hal ini disebabkan karena pendidikan agama (Islam) merupakan usaha yang lebih khusus di tekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan dan sumber daya insani agar mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, yang mengilhami tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu bentuk dan model pendidikan Islam di Indonesia adalah pesantren.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisonal, dimana seorang kyai merupakan figur sentral dari santrinya, kepatuhan mutlak para santri kepadanya, kesederhanaan cara hidup santri dan sebagai kajiannya adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning).Kiai sebagai “Waratsat al-Anbiya’” pewaris para Nabi di samping memberi teladan juga harus memperhatikan pendalaman agama bagi para santrinya. Karena pendidikan agama itu sangat terkait dengan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Setiap kiai atau pendidik pasti ingin mendidik  santri/peserta didiknya menjadi orang yang baik. Kurangnya perhatian dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan pada diri santri.
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam yang secara historis telah ada sejak tahun 1630 M hingga kini masih tetap bertahan. Eksistensi pesantren semula banyak dijauhi oleh kalangan modernis. Hal ini disebabkan karena mereka larut dalam anggapan bahwa tradisionalisme diartikan statis dan tak berkembang. Perkembangan selanjutnya justru terbalik, karena lembaga pesantren jutru eksis dan dialektis dengan situasi dan kondisi bangsa bahkan telah menjadi sub kultur.
Menurut Laode Ida bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional karena adanya tiga ciri yang membuat pesantren pada umumnya termasuk kategori lembaga pendidikan tradisional. Pertama, karena mengembangkan pemikiran empat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Kedua, Pola hubungan kyai dan santri yang tidak demokratis dan ketiga, sikap pesantren yang tidak akomodatif terhadap budaya modern.
Penilaian ini didasari tidak secara komprehensip tentang lingkungan pesantren, dan sering kali penilaian terhadap pesantren sangat subjektif karena pesantren belum dikaji secara menyeluruh. Pesantren tampak dengan sendirinya tumbuh, berkembang serta telah banyak menyumbangkan pembaharuan untuk masyarakat luas. Wajar sekali, bilamana out put pesantren menjadi marketable di tengah kehidupan masyarakat. Dari kawahnya sebagai objek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan sebagainya. Partisipasi sosial dengan nyata ditunjukkan dalam bentuk aktifitas kultural yang berangkat dari sense of responsibility terhadap problema lingkungan sekitar, terutama sektor agama yang dijadikan prioritas garapannya.
Selama ini, di Pati masih muncul dikotomi Pati Selatan-Utara untuk menunjuk perbedaan “sosiokultural”. Pati di bagian selatan lebih dikenal dengan tradisi Jawa Petani abangan yang selama ini kondisi sosial ekonominya relatif tertinggal. Diberkahi dengan hamparan lahan pertanian yang luas, warga di Pati bagian selatan menyandarkan kehidupan bertani sebagai mata pencaharian utama.  Lahan pertanian pati selatan yang sering digempur banjir mengakibatkan makin tingginya budaya migrasi, daerah ini miskin pemuda karena lebih suka bertandang ke kota besar untuk merebut kesejahteraan sebagai buruh pabrik, bangunan dll, sebagian lagi ke luar negeri bekerja sebagai TKI.
Disisi yang lain, Pati bagian utara dirasakan lebih unggul secara ekonomi dan sosial. Selain itu, pati utara juga terkenal dengan citra santri yang menjadi benteng identitas Islam di Pati. Terlepas dari kategori sosial yang digunakan oleh Clifford Geertz, bahwa kategori santi adalah mereka yang taat pada ajaran Islam, melainkan disini lebih khusus, yaitu kalangan Nahdlatul Ulama yang identik dengan tradisi pesantren. Di daerah pati utara ini seperti di kecamatan Margoyoso, Tayu, Dukuhseti banyak dijumpai pondok-pondok pesantren yang masih bertahan sebagai basis pendidikan Islam. Bahkah desa Kajen- Margoyoso terkenal dengan sebutan desa santri.

Globalisasi dan Tantangan Pesantren
Globalisasi sering diterjemahkan mendunia atau mensejagat. Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada perkembangan – perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal-hal yang bisa dijangkau dengan mudah”. Dengan demikian, dunia ini seolah tanpa memiliki lagi batas-batas wilayah dan waktu. Kita dengan mudah bicara lewat tulisan melalui internet, yang berarti tanpa ada sensor dari tangan siapapun. Dengan alat canggih tersebut, kita dengan mudah mendapatkan informasi dari luar negeri dalam waktu yang bersamaan.
Kemajuan teknologi informasi ini mempengaruhi pola fikir masyarakat dan pembangunan ekonomi. Minat santri dalam mempelajari ilmu komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras terus meningkat agar tidak dikatakan sebagai masyarakat yang gagap teknologi. Pada dataran realitas, mayoritas santri pesantren Pati  belum menjadikan internet sebagai kebutuhan dalam mendapatkan informasi. Mereka lebih banyak mendapatkan informasi dari media cetak seperti koran, majalah, tabloid dll. Masyarakat Pati yang membutuhkan media internet terbatas untuk kalangan tertentu, seperti halnya, mahasiswa, wartawan dan kalangan bisnis. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana pendidikan pesantren dalam menghadapi arus global yang cepat dan mudah terjangkau ini. 
Dalam era globalisasi ini akan terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, tranformasi dan informasi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang; atau saling bekerjasama (eclectic) yang akan menghasilakan sintesa dan antitesa baru.
Istilah globalisasi dapat juga berarti alat, karena merupakan wujud keberhasilan ilmu teknologi, maka globalisasi sangat netral. Artinya, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan baik. Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal negatif. Dengan demikian, globalisasi akan tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan apa serta tujuan kemana ia dipergunakan. Jadi, sebagai alat dapat bermanfaat dan dapat pula mudarat.
Jika globalisasi ini memberi pengaruh nilai dan praktek yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi pesantren untuk mampu menyerapnya, terutama sekali pada hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal dan pesantren. Dengan kata lain, bagaimana agar nilai-nilai positif dari pengaruh globalisasi ini dapat masuk ke pesantren dan dapat pula dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat kita.
Kemajuan teknologi informasi telah menembus batas-batas geografis yang menjadikan dunia tanpa batas (bordesless world). Lembaga pendidikan pesantren di Pati harus beroriantasi terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sekarang. Program pembelajaran yang ada di pesantren diharapakan harus mampu menghasilkan santri yang mampu bersaing secara kompetitif dan bekerja secara professional dengan dibekali ilmu agama yang cukup.
Untuk menuju kesana, usaha-usaha operasional yang konseptual dan strategi harus dikerjakan oleh para kiai dan pengasuh pesantren di Pati. Hal ini akan meliputi strategi perencanaan pembelajaran, beserta lembaganya, sampai pada pelatihan-pelatihan jangka pendek untuk mempersiapkan sumber daya santri yang berkualitas yang siap menghadapi era globalisasi di semua jajaran dan tingkatan masyarakat. Termasuk menjadi sasaran programnya adalah pengembangan ilmu dan teknologi secara serius.
 Selain itu, beberapa hal yang sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan yang ada di tiap-tiap individu santri yang berkualitas tersebut. Yaitu, perilaku dan mentalitas sumber daya santri untuk menjadi landasan sekaligus pendukung terhadap kemampuannya itu. Ini meliputi, kerja keras, disiplin, jujur tanggung jawab dan basik keagamaan yang kuat. Sehingga yang baik dapat diikuti dan yang jelek harus ditinggalkan (amar ma’ruf nahi munkar).
Dengan pola pendidikan pesantren yang peka terhadap pengaruh teknologi ini, diharapkan akan tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mengenyang pendidikan pesantren. Suatu kelebihannya adalah disamping mendapatkan ilmu agama, santri juga akan dibekali ilmu teknologi yang akan berguna dalam persaingan global. Hal ini tentunya akan tetap mempertahankan keberlangsungan pesantren di Pati. Chairullizza

CATATAN RULLY