"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Senin, 18 Januari 2010

Globalisasi dan Tantangan Pesantren di Pati


Salah satu bentuk pendidikan yang harus dan tetap di pertahankan dan dilaksanakan adalah pendidikan agama. Hal ini disebabkan karena pendidikan agama (Islam) merupakan usaha yang lebih khusus di tekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan dan sumber daya insani agar mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, yang mengilhami tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu bentuk dan model pendidikan Islam di Indonesia adalah pesantren.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisonal, dimana seorang kyai merupakan figur sentral dari santrinya, kepatuhan mutlak para santri kepadanya, kesederhanaan cara hidup santri dan sebagai kajiannya adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning).Kiai sebagai “Waratsat al-Anbiya’” pewaris para Nabi di samping memberi teladan juga harus memperhatikan pendalaman agama bagi para santrinya. Karena pendidikan agama itu sangat terkait dengan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Setiap kiai atau pendidik pasti ingin mendidik  santri/peserta didiknya menjadi orang yang baik. Kurangnya perhatian dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan pada diri santri.
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam yang secara historis telah ada sejak tahun 1630 M hingga kini masih tetap bertahan. Eksistensi pesantren semula banyak dijauhi oleh kalangan modernis. Hal ini disebabkan karena mereka larut dalam anggapan bahwa tradisionalisme diartikan statis dan tak berkembang. Perkembangan selanjutnya justru terbalik, karena lembaga pesantren jutru eksis dan dialektis dengan situasi dan kondisi bangsa bahkan telah menjadi sub kultur.
Menurut Laode Ida bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional karena adanya tiga ciri yang membuat pesantren pada umumnya termasuk kategori lembaga pendidikan tradisional. Pertama, karena mengembangkan pemikiran empat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Kedua, Pola hubungan kyai dan santri yang tidak demokratis dan ketiga, sikap pesantren yang tidak akomodatif terhadap budaya modern.
Penilaian ini didasari tidak secara komprehensip tentang lingkungan pesantren, dan sering kali penilaian terhadap pesantren sangat subjektif karena pesantren belum dikaji secara menyeluruh. Pesantren tampak dengan sendirinya tumbuh, berkembang serta telah banyak menyumbangkan pembaharuan untuk masyarakat luas. Wajar sekali, bilamana out put pesantren menjadi marketable di tengah kehidupan masyarakat. Dari kawahnya sebagai objek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan sebagainya. Partisipasi sosial dengan nyata ditunjukkan dalam bentuk aktifitas kultural yang berangkat dari sense of responsibility terhadap problema lingkungan sekitar, terutama sektor agama yang dijadikan prioritas garapannya.
Selama ini, di Pati masih muncul dikotomi Pati Selatan-Utara untuk menunjuk perbedaan “sosiokultural”. Pati di bagian selatan lebih dikenal dengan tradisi Jawa Petani abangan yang selama ini kondisi sosial ekonominya relatif tertinggal. Diberkahi dengan hamparan lahan pertanian yang luas, warga di Pati bagian selatan menyandarkan kehidupan bertani sebagai mata pencaharian utama.  Lahan pertanian pati selatan yang sering digempur banjir mengakibatkan makin tingginya budaya migrasi, daerah ini miskin pemuda karena lebih suka bertandang ke kota besar untuk merebut kesejahteraan sebagai buruh pabrik, bangunan dll, sebagian lagi ke luar negeri bekerja sebagai TKI.
Disisi yang lain, Pati bagian utara dirasakan lebih unggul secara ekonomi dan sosial. Selain itu, pati utara juga terkenal dengan citra santri yang menjadi benteng identitas Islam di Pati. Terlepas dari kategori sosial yang digunakan oleh Clifford Geertz, bahwa kategori santi adalah mereka yang taat pada ajaran Islam, melainkan disini lebih khusus, yaitu kalangan Nahdlatul Ulama yang identik dengan tradisi pesantren. Di daerah pati utara ini seperti di kecamatan Margoyoso, Tayu, Dukuhseti banyak dijumpai pondok-pondok pesantren yang masih bertahan sebagai basis pendidikan Islam. Bahkah desa Kajen- Margoyoso terkenal dengan sebutan desa santri.

Globalisasi dan Tantangan Pesantren
Globalisasi sering diterjemahkan mendunia atau mensejagat. Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada perkembangan – perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal-hal yang bisa dijangkau dengan mudah”. Dengan demikian, dunia ini seolah tanpa memiliki lagi batas-batas wilayah dan waktu. Kita dengan mudah bicara lewat tulisan melalui internet, yang berarti tanpa ada sensor dari tangan siapapun. Dengan alat canggih tersebut, kita dengan mudah mendapatkan informasi dari luar negeri dalam waktu yang bersamaan.
Kemajuan teknologi informasi ini mempengaruhi pola fikir masyarakat dan pembangunan ekonomi. Minat santri dalam mempelajari ilmu komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras terus meningkat agar tidak dikatakan sebagai masyarakat yang gagap teknologi. Pada dataran realitas, mayoritas santri pesantren Pati  belum menjadikan internet sebagai kebutuhan dalam mendapatkan informasi. Mereka lebih banyak mendapatkan informasi dari media cetak seperti koran, majalah, tabloid dll. Masyarakat Pati yang membutuhkan media internet terbatas untuk kalangan tertentu, seperti halnya, mahasiswa, wartawan dan kalangan bisnis. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana pendidikan pesantren dalam menghadapi arus global yang cepat dan mudah terjangkau ini. 
Dalam era globalisasi ini akan terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, tranformasi dan informasi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang; atau saling bekerjasama (eclectic) yang akan menghasilakan sintesa dan antitesa baru.
Istilah globalisasi dapat juga berarti alat, karena merupakan wujud keberhasilan ilmu teknologi, maka globalisasi sangat netral. Artinya, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan baik. Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal negatif. Dengan demikian, globalisasi akan tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan apa serta tujuan kemana ia dipergunakan. Jadi, sebagai alat dapat bermanfaat dan dapat pula mudarat.
Jika globalisasi ini memberi pengaruh nilai dan praktek yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi pesantren untuk mampu menyerapnya, terutama sekali pada hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal dan pesantren. Dengan kata lain, bagaimana agar nilai-nilai positif dari pengaruh globalisasi ini dapat masuk ke pesantren dan dapat pula dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat kita.
Kemajuan teknologi informasi telah menembus batas-batas geografis yang menjadikan dunia tanpa batas (bordesless world). Lembaga pendidikan pesantren di Pati harus beroriantasi terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sekarang. Program pembelajaran yang ada di pesantren diharapakan harus mampu menghasilkan santri yang mampu bersaing secara kompetitif dan bekerja secara professional dengan dibekali ilmu agama yang cukup.
Untuk menuju kesana, usaha-usaha operasional yang konseptual dan strategi harus dikerjakan oleh para kiai dan pengasuh pesantren di Pati. Hal ini akan meliputi strategi perencanaan pembelajaran, beserta lembaganya, sampai pada pelatihan-pelatihan jangka pendek untuk mempersiapkan sumber daya santri yang berkualitas yang siap menghadapi era globalisasi di semua jajaran dan tingkatan masyarakat. Termasuk menjadi sasaran programnya adalah pengembangan ilmu dan teknologi secara serius.
 Selain itu, beberapa hal yang sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan yang ada di tiap-tiap individu santri yang berkualitas tersebut. Yaitu, perilaku dan mentalitas sumber daya santri untuk menjadi landasan sekaligus pendukung terhadap kemampuannya itu. Ini meliputi, kerja keras, disiplin, jujur tanggung jawab dan basik keagamaan yang kuat. Sehingga yang baik dapat diikuti dan yang jelek harus ditinggalkan (amar ma’ruf nahi munkar).
Dengan pola pendidikan pesantren yang peka terhadap pengaruh teknologi ini, diharapkan akan tetap mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mengenyang pendidikan pesantren. Suatu kelebihannya adalah disamping mendapatkan ilmu agama, santri juga akan dibekali ilmu teknologi yang akan berguna dalam persaingan global. Hal ini tentunya akan tetap mempertahankan keberlangsungan pesantren di Pati. Chairullizza

0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY