"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Rabu, 19 Oktober 2011

Liberalisasi Perdagangan Pangan VS Nasib Pak Tani


Mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan perdagangan bebas “free trade”, berhasil dengan ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April 1994 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, yaitu suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Pada tahun 1995 suatu organisasi perdagangan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO) didirikan, dan sejak itu WTO mengambil alih fungsi GATT. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU No. 7/1994. Posisi Indonesia mengetuai Grup 33 (G-33) gabungan negara – negara berkembang.
Organisasi perdagangan dunia atau WTO (Word Trade Organization) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Setelah WTO lahir, Multilateral Trade Agreement yang diatur WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan barang (Trade In Goods), perdagangan jasa (Trade In Servise), dan HAKI terkait perdagangan atau TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right).
Pasar bebas di ASEAN disebut dengan AFTA yang berjalan mulai tahun 2003 dan untuk wilayah Asia Pasifik kita kenal dengan APEC akan berjalan mulai tahun 2020, hasil pertemuan APEC di Bogor pada tahun 1992. Dengan  AFTA ini, negara - negara anggota ASEAN akan mempraktekkan liberalisasi perdagangan antar sesama anggota. Artinya, produk negara anggota ASEAN bisa dijual dengan leluasa di negara – negara anggota lainnya, tanpa bea masuk sebagaimana yang selama ini terjadi. Selain itu, baru-baru ini telah terjadi kesepakan perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN dengan sebutan ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area).
Tanpa bea masuk ini berarti merupakan penghematan yang luar biasa terhadap cost dari produk luar negeri tersebut. Artinya, akan berbeda dengan praktek selama ini: yaitu, cost sangat banyak dikeluarkan untuk bea masuk. Terlebih lagi untuk barang-barang tertentu, yang karena ada proteksi dari pemerintah, maka harus ada bea masuk yang sangat tinggi. Dengan tanpa bea masuk ini berarti bahwa produk luar negeri atau barang impor tadi akan mampu menekan biaya sampai dengan semurah-murahnya.
Dengan adanya produk luar negeri yang murah tesebut akan menguntungkan para konsumen, lantaran mereka bisa memilih produk di bawah bayang – bayang persaingan harga. Prinsip mendapatkan barang yang sebagus – bagusnya dengan harga yang semurah – murahnya. Di lihat dari segi ekonomi, seseorang sebagai konsumen akan merasa senang jika ia mendapatkan keuntungan lebih banyak sementara orang lain mendapatkan lebih sedikit.
Kalau dampak liberalisasi perdagangan terhadap konsumen bisa dikatakan sangat positif dan menguntungkan, namun pelaksanaan liberalisasi perdagangan terhadap produsen dalam negeri tidak mustahil akan berdampak negatif. Dan dalam waktu bersamaan, manusia yang sama, ketika menjadi konsumen sangat beruntung dengan adanya pasar bebas, ketika ia menjadi produsen termasuk sebagai pekerja untuk produsen, akan terpukul. Produk dalam negeri akan bersaing ketat dengan barang-barang impor. Produk dalam negeri tidak mustahil akan menjadi barang yang kualitasnya lebih rendah, namun harganya justeru lebih mahal dibanding dengan barang impor. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kesiapan Indonesia terhadap liberalisasi perdagangaan dan petani Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan pangan?

Mengenal  Liberalisasi Perdagangan
                Liberalisasi perdagangan adalah sebuah tata perdagangan internasional bebas hambatan yang dipaksakan oleh para penguasa dan pengusaha negara-negara industri maju melalui lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan WTO. Menurut Francis Fukuyama, liberalisasi perdagangan adalah pengakuan terhadap hak-hak untuk melakukan aktifitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Inti dasar liberalisasi perdagangan adalah bahwa setiap individu diberi hak untuk mengejar kepentingannya (interest).
                Membicarakan liberalisasi perdagangan, tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kapitalisme dan neoliberalisme. Kapitalisme ini adalah system ekonominya. Menurut Karl Marx, kapitalisme adalah system sosio-ekonomi yang dibangun dari proses produksi bukan dari dagang, riba, memeras ataupun mencuri secara langsung.
Liberalisasi perdagangan ini didasari oleh paham neoliberalisme. Paham ini memperjuangkan Liessez faire (persaingan bebas) yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Paham ini lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi.
Neoliberalisme dirumuskan dan dipropagandakan sejak decade 1940-an oleh Friedrick Von Hoyek dan Murinya Milton Friedman dari Universitas Chicago. Dalam sejarah pemikiran ekonomi, neoliberalisme berakar dari ekonomi klasik yang dikonseptualisasikan oleh Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823), dan Herbert Spencer (1820-1903).
Adam Smith (1723-1790) dalam karyanya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), menggagas penghapusan intervensi pemerinth dalam ekonomi. Pemerintah harus membiarkan mekanisme pasar bekerja, pemerintah harus melakukan deregulasi, dengan mengurangi segenap retriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya free trade. Dengan demikian, liberalisasi disini berkonotasi bebas dari kontrol pemerintah, atau kebebasan individu untuk menjalankan persaingan bebas.
Dalam konsep ekonominya Adam Smith, yang merupakan mesin pertumbuhan ekonomi adalah (1) the devision of labor (pembagian kerja), (2) accumulation of capital (akumulasi modal), dan (3) technological progress (kemajuan teknologi). Itulah yang Smith uraikan dan teorikan secara detail dalam bukunya, The Wealth of Nation. Tiga ciri itu juga sekaligus ciri paham ekonomi kapitalisme.
Adam Smith juga pemikir pertama yang mengarahkan tujuan produksi kepada konsumen. Konsumsi baginya adalah tujuan utama proses produksi. Dengan demikian, motivasi produsen harus ditujukan pada pemenuhan kebutuhan konsumen. Konsumsi merupakan titik awal teori ekonomi klasik pada tingkat mikro, makro dan internasional. Konsumen adalah raja yang berkuasa yang akan menentukan apa yang harus diproduksi, apa yang tidak perlu diproduksi dan seberapa banyak. Produsen bersaing satu sama lain untuk memuaskan permintaan konsumen dengan cara yang paling menguntungkan. Oleh karena itu, harga baik tingkat nasional maupun internasional ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Dengan adanya kompetisi dalam liberalisasi perdagangan, maka disamping kualitas produk juga harga produk akan menjadi persaingan antara produk impor dan lokal. Artinya, produk yang harganya paling murah dan paling berkualitas serta yang paling memberi jaminan akan menang dalam persaingan bebas.
Pendekatan liberalisasi perdagangan mewakili paradigma yang sangat berbeda. Paradigma ini mendukung dilakukannya pengurangan atau peniadaan peraturan negara atas pasar, membiarkan berkuasanya “kekuatan pasar bebas”, serta hak dan kebebasan yang luas bagi perusahaan besar mendominasi pasar. Liberalisasi perdagangan dilandasi filsafat ekonomi liberal yaitu percaya pada kebebasan individu (personal liberty), pemilikan pribadi (private property), dan inisiatif individu serta usaha swasta (private interprise).
Pendekatan paradigma pasar bebas tersebut mendukung filsafat sosial ala Darwin dimana “setiap orang hidup untuk dirinya sendiri, setiap perusahaan untuk perusahaan itu sendiri, dan setiap negara untuk negara itu sendiri”. Dalam kerangka hukum rimba sosial seperti itu, hak individu dan perusahaan untuk menuntut kebebasan dalam mencari keuntungan dan laba, serta hak untuk mendapatkan akses pasar dan akses sumber daya dari negara – negara lain dimanapun dimuka bumi ini, untuk merealisasi hak mereka dalam meraup keuntungan.
Pandangan neoliberalisme menyatakan liberalisasi perdagangan sebagai yang terbaik dan satu – satunya formula untuk efisiensi dan pengembangan ekonomi negara-negara miskin dalam ekspor dunia. Liberalisasi perdagangan (pasar bebas) kemudian menjadi kunci untuk memecahkan berbagai masalah pertumbuhan ekonomi. Pasar bebas tiba-tiba telah menjadi kata kunci yang dipercayai sebagai jalan menuju kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Orang mulai percaya bahwa apa yang dianggap akan menghalangi berlakunya pasar bebas adalah sesuatu yang menghalangi jalan menuju kemakmuran dan oleh karena itu harus segera disingkirkan.

Kesepakatan yang Menyengsarakan
Terbentuknya GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1947, yang berfungsi meletakkan peraturan dasar menegenai perdagangan internasional. GATT berawal dari sebuah klub yang terdiri dari 23 negara industri eropa dan Amerika Utara yang ditujukan guna menghidupkan perdagangan paska perang dunia II. GATT tumbuh dengan memasukkan 115 negara sebagai anggota; 84 diantaranya adalah negara sedang berkembang menurut kriteria UNDP.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan.
Pada dasarnya GATT memuat ketentuan bahwa barang harus mendapatkan kebebasan masuk ke negara pengimpor, tetapi suatu negara pengimpor boleh mengenakan bea. GATT menyediakan perundingan bagi bea, tetapi juga memperbolehkan langkah-langkah bukan bea dalam situsi tertentu. GATT bukanlah sebuah organisasi, melainkan sebuah kesepakatan. Antara tahun 1947 sampai 1979 terdapat enam putaran perundingan yang membahas bea, tapi putaran ketujuh yang dikenal dengan putaran Tokyo (1973-1979) mulai membahas hal-hal lain yang bukan bea, membahas perdagangan tidak adil dan perlakuan bebeda serta lebih menguntungkan bagi negara-negara berkembang.
Putaran yang paling menentukan berlangsungnya dalam kurun waktu 1986 dan 1994 –dikenal dengan putaran Uruguay- dimana lahir Organisasi perdagangan dunia atau WTO (Word Trade Organization). WTO merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Setelah WTO lahir, Multilateral Trade Agreement yang diatur WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan barang (trade in goods),perdagangan jasa (trade in servise), dan HaKi terkait perdagangan atau TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right).
WTO secara resmi berdiri dan beroperasi pada tanggal 1 Januari 1995, dan sejak itu WTO mengambil alih fungsi GATT. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
Secara umum, Paket Persetujuan Putaran Uruguay mencakup tiga hal utama sebagai berikut :
1.      Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai pengganti Sekretaiat GATT yang selanjutnya akan mengadministrasikan dan mengawasi pelaksanaan persetujuan perdagangan serta menyelesaikan sengketa dagang di antara negara anggota.
2.      Penurunan tarif impor berbagai komoditi perdagangan secara menyeluruh, dan akses pasar domestik dengan mengurangi berbagi hambatan/proteksi perdagangan yang ada.
3.      Pengaturan baru di bidang aspek-aspek dagang yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Itelektual, ketentuan investasi yang terkait dengan perdagangan, dan perdagangan jasa.
Sejak berdirinya, setiap dua tahun sekali WTO menyelenggarakan konferensi tertinggi yang dihadiri oleh seluruh anggotanya. Keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh WTO bersifat legal binding (mengikat secara hokum). Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Negara yang merlanggar perjanjian akan dikenai sanksi hukuman. Menurut statuta WTO kedudukan semua anggota adalah sama dan stara, dan keputusan-keputusan selalu diambil lewat sebuah konsensus di antara negara-negara anggota.
 Salah satu kesepakatan WTO adalah Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk  melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif. Persetujuan AoA yang menyatakan bahwa setiap anggota WTO diwajibkan untuk mengurangi secara bertahap subsidi pada bidang pertanian. Peranan pemerintah ini terwujud untuk penghilangan dan pengurangan bea masuk impor beras. Sejak tahun 1997 diterapkan liberalisasi pangan dan penyingkiran BULOG, liberalisasi pupuk lewat penyingkiran PUSRI, penghapusan tarif bea masuk pertanian hingga 0 %. Pada pertengahan tahun 2000 (pemereintahan Abdurrahman Wahid) menetapkan bea masuk 30 persen.
Selain itu, WTO menerapkan TRIPs (Trade Related Intelektual Property Rights) yang diratifikasi pemerintah ke dalam perundangan-undangan nasional. berupa Hak-hak Kekayaan Intelektual (HaKi) DPR sudah menyetujui Undang-undang, terutama UU No. 15/2000 tentang paten, UU No. 29/2000 tentang Varietas Tanaman. Undang-undang tersebut berpotensi merugikan dan meminggirkan perekonomian rakyat Indonesia. UU varietas tanaman akan sangat merugikan petani dan masyarakat pemilik benih-benih tradisional dan menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional, yang disebut sebagai bio-piracy (pembajakan hayati).

Petani Jadi Korban
Tentunya kita tahu bahwa hampir seluruh rakyat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Ketika krisis pangan melanda Indonesia, maka hampir dipastikan konsumsi rakyat Indonesia yang menggantungkan dirinya pada sektor pertanian juga menjadi terganggu. Rakyat Indonesia harus kembali berpikir keras bagaimana mereka bisa menyambung hidup dengan bahan makanan pokok yang sudah sangat melambung tinggi.
Ketika harga melonjak sedikit saja, maka kesejahteraan rakyat semakin terpuruk. Karena jelas konsumsi pangan menyumbang sebagian besar dari seluruh pengeluaran rumah tangga miskin. Maka dari itu ketika pengelolaan sektor pertanian menjadi salah urus, bahkan berpihak kepada kepentingan kaum kapitalis, maka jelas juga pemerintah Indonesia tidak berpihak kepada rakyat.
Modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usaha tani, sumber daya perdesaan kita yaitu petani penghasil pangan (padi) dan sebagian lain, terutama di luar jawa petani hasil perdagangan dan ekspor. Jenis pertama dibebani tugas penyediakan makanan pokok penduduk (beras), pendukung industrialisasi dalam perekonomian nasional yang dikembangkan dan jenis kedua menghasilkan devisa bersama subsektor perkebunan besar yang juga diperluas dan diperbaharui.
Indonesia sebagai negara agraris, ternyata merupakan pengimpor beras terbesar di dunia setelah Rusia.  Tanggal 1 November 2005, Pemerintah mengeluarkan izin bagi Perum Bulog untuk mengimpor 70.500 ton beras dari Vietnam. Harga beras impor lebih murah daripada beras lokal. Hal ini mengakibatkan produksi beras di Indonesia dapat dihancurkan dengan mudahnya oleh impor murah tersebut. Pasalnya sejumlah beras impor ini mengakibatkan harga eceran turun.
Menurut data departemen pertanian dari bulan juli 2005 sampai bulan juni 2006 (1 tahun), impor beras dari negara lain lebih besar daripada ekspor beras Indonesia. Impor beras berdasarkan dari negara tujuan sebesar 459.979.759,00 kg dan ekspor beras sebesar  951.149,00 kg. Kebijakan ekspor dan impor hasil pertanian dan komoditi lainnya secara bebas tersebut adalah dalam rangka menggusur kemampuan petani kecil sebagai penghasil pangan lokal. Hal ini adalah akibat dari kebijakan neoliberal untuk menghapus subsidi kepada petani dan menghapus tarif hasil pertanian dalam rangka kompetisi bebas antara petani dan TNCs, dimana petani yang tak sanggup bersaing akan gulung tikar. Wallahu A'lam… Chairullizza
Bahan Bacaan
A. Midyamartawa dan AB. Widyanta, Globalisasi Kemiskinan dan ketimpangan, Yogyakarta: CPRC, 2004.
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam (persiapan SDM dan terciptanya Masyarakat Madani), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
A. Widyamartaya dan JD. Bowo Santoso, Enclosures of The Mind: Intelektual Monopolies, Yogyakarta: CPRC, 2004.
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002.
Francis Fukuyama, The End Of History and The Last Man, alih bahasa M.H. Amrullah, cet. ke-3, Yogyakarta: Qalam, 2004.
I. Wibowo dan Francis Wahono (ed.), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPRC, 2003.
Ibnu Khaldūn, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
John Madeley, Loba, Keranjingan Berdagang; Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas, alih bahasa JD. Bowo Santoso, Yogyakarta: CPRC, 2005.
Kevin Danaher, Demokratisasi Perekonomian Global, Gerakan Masyarakat Sipil Global Menentang Bank Dunia & IMF, Yogyakarta: CPRC, 2006.
Kevin P.  Clements, Teori Pembangunan dari kiri ke kanan, Yogyakartta, pustaka pelajar, 1999.
Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Mansur Fakih, Bebas dari Neoliberalism, Yogayakrta: INSIST Press, 2003.
Martin Khor, Globalisasi Dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan, alih bahasa AB. Widyanto, Yogyakarta: CPRC, 2001.
Sajogya, Ekososiologi Reideologisasi teori, restrukturisasi aksi (petani dan perdesaan sebagai kasus Uji), Yogyakarta: CPRC, 2006.
Undang-undang  No. 7 tahun 1994.




0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY