"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Jumat, 22 Januari 2010

Penerapan Pola Pertanian Mandiri Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani


Dunia pertanian kita telah dikejutkan oleh panen raya yang diselenggarakan oleh kelompok petani “Tani Rukun” di persawahan “Nggayang” desa Ngagel, Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah pada tanggal 5 November 2009. Dimana para petani kelompok Tani Rukun mampu melakukan panen padi hingga 17,6 ton/ha dengan biaya produksi yang lebih rendah.
Penerapan pola pertanian selama ini yang hanya berorientasi pada hasil produksi pertanian yang tinggi telah merubah budaya dan pola pikir petani, dari petani tradisional yang sebelumya mandiri menjadi petani yang kurang mandiri. Dari penerapan pola pertanian slama ini telah menjadikan petani makin banyak bergantung kepada pihak-pihak diluar petani. Dari mulai pengadaan bibit, pupuk kimia, pestisida kimia dan harga jual produk pertaniannya.
Dampak penggunaan pupuk kimia selama ini yang terus-menerus dan dalam waktu yang lama tanpa disadari telah berpengaruh terhadap kondisi tanah pertanian. Bahan kimia yang meresap dalam tanah tersebut akan mematikan zat-zat renik yang berguna untuk menyuburkan tanaman. Selain itu, penggunaan pestisida (racun) kimia berdampak rusaknya keaneka ragaman hayati. Penggunaan pestisida kimia yang tujuannya untuk membunuh hama, tanpa disadari juga membunuh hewan-hewan yang menguntungkan petani (konco tani). Disamping itu penggunaan pestisida kimia juga merusak rantai makanan yang ada di areal pertanian.
Dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan petani, kelompok petani “Tani Rukun” melakukan ujicoba yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pihak-pihak diluar petani  dan berusaha untuk bertani yang lebih ramah lingkungan. Sebisa mungkin, petani Tani Rukun menghindari “membunuh” hama, akan tetapi yang mereka lakukan adalah mengusir hama. Membunuh hama hanya dilakukan jika memang benar-benar dalam keadaan terpaksa, itupun dengan menggunakan pestisida alami yang mereka buat sendiri yang harganya jauh lebih murah.
Sekarang, anggota kelompok petani “Tani Rukun” mulai mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia dan mulai menoleh kembali terhadap penggunaan pupuk dan pestisida alami, dimana penggunaan ini sebenarya merupakan pintu masuk dan sebagai alat bagi petani untuk mengurangi ketergantungan petani dalam rangka melepaskan diri dari ketergantungan bahan kimia selama ini.
Pola pertanian yang dilakukan adalah pada waktu pengelolaan tanah, para petani menggunakan singkal (pembalikan tanah), tidak sekedar di-Lebek (membenamkan rumput), menggunakan pupuk organik (kompos), cara tanam yang biasanya antara 4-7 bibit per titik dengan jarak 18-20 cm menjadi 1-2 bibit per titik dengan jarak 23 cm dengan sistem tanam “legowo”. Untuk proses pertumbuhan padi, petani memanfaatan urine sapi yang mengasilkan nitrogen. selain itu urine sapi dan empon-empon juga dapat membantu mengusir hama. Para petani juga memanfaatkan serabut kelapa yang direndam yang dapat menghasilkan kalium untuk membuat padi lebih berisi. Para petani juga menggunakan pestisida yang terbuat dari serabut kelapa dan berambut padi.
Hasil dari metode ini, dapat dihasilkan tanaman padi dengan kondisi batang lebih tinggi, kokoh dan ulen (tangkai) padi yang lebih panjang. Biji padi dari ujung sampai pangkal terisi penuh. Selain itu, pada saat panen, daun padi relatif kelihatan masih hijau.
Dengan pola pertanian ini, petani dapat meningkatkan produksi pertaniannya melalui daya kreatifitas dan keterampilan kerja petani untuk menuju efisiensi dan efektifitas kerja yang berdampak pada hasil kerja dan kesejahteraan petani. Hal ini terbukti dengan hasil panen yang awalnya hanya 6-7 ton/ha, dengan menggunakan pola pertanian tersebut, kelompok petani “Tani Rukun” dapat panen hingga 17, 6 ton/ha dengan biaya yang lebih rendah. Dengan pola pertanian ini juga dapat menurunkan tingkat ketergantungn petani terhadap pihak-pihak lain yang mempunyai kecenderungan merugikan petani.
Kendala produksi yang dialami anggota petani “Tani Rukun” selama ini adalah para petani dihadapkan dengan masalah pengairan. Lahan pertanian “Nggayang” adalah lahan tadah hujan, jadi pada musim kemarau menjadi soal yang sangat memusingkan bagi petani. Hal tersebut dikarenakan lokasi lahan persawahan “Nggayang” tidak tersedia saluran irigasi. Padahal, para petani hanya dapat menanam dimusim kemarau, karena saat musim penghujan, areal persawahan “Nggayang” dilanda banjir….Chairullizza

0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY