"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Jumat, 21 Oktober 2011

Kemana Petani Muda??


Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi alam yang kaya, subur, gemah ripah loh jinawi. Sebagaimana ungkapan “tongkat kayu di lempar jadi tanaman” menunjukkan betapa suburnya bangsa ini hingga banyak negara lain yang iri dengan potensi kekayaan Indonesia. Kesuburan tanah inilah yang kemudian menjadikan pertanian jadi tumpuan hidup mayoritas penduduk Indonesia sehingga sektor pertanian telah banyak menyumbang devisa bagi negara. 

Dalam sejarahnya, peran petani juga tidak bisa di nafikkan dalam perjalanan bangsa ini. Di era merebut kemerdekaan barisan petani berada di garda depan tanpa rasa takut, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing. Para petani juga berperan besar dalam pemenuhan support makanan kepada para pejuang yang terus melakukan perlawanan terhadap panjajah. Pentingnya logistik makanan dalam medan perang sama pentingnya dengan teknologi senjata, dalam bahasanya bung Karno food as weppon. Hingga sampai sekarang, petani juga masih menjadi ujung tombak dalam pemenuhan makanan seluruh rakyat Indonesia. Bisa dikatakan, salah satu kekuatan Indonesia ada di petani. Di sisi yang lain, kalau melihat kondisi diperdesaan, banyak petani yang masih belum bisa hidup sejahtera. Kondisi yang didapat petani ini tidak sepadan dengan apa yang telah mereka berikan kepada bangsa ini. 

Dalam puasa tahun ini, saya sering menghabiskan waktu menunggu buka puasa di sawah untuk sekedar melihat padi saudara, dalam trend bahasa anak muda sekarang dikenal dengan istilah “ngabuburit”. Di sepanjang hamparan sawah, beberapa kali saya hanya menjumpai sosok tua yang masih memegang cangkul dan sabit. Jarang saya jumpai sosok muda yang masih bertani. Mungkin, baginya dunia pertanian sudah tidak menarik lagi karena tidak menjanjikan sebuah kemakmuran. Dan merantau ke kota besar seperti menjadi buruh bangunan, buruh pabrik telah menjadi pilihan dibanyak kalangan pemuda sekarang, bahkan sebagian menjadikan rantau sebagai gaya hidupnya. Di benakku timbul beberapa pertanyaan, bagaimana kalau tidak ada regenerasi petani dan petani tua sudah tidak ada? Bagaimana kecukupan pangan bagi Indonesia? Akankah bangsa ini kembali ke tahun 60-an,  menjadi pengimpor beras terbesar di dunia? Ataukah beralih mengkonsumsi bahan makanan instant pabrikan?

Sejarah Indonesia mencatat, betapa kaum muda mempunyai peranan penting dalam pergolakan sosial politik dalam membangun sebuah bangsa. Peranan kaum muda, sebagaimana disebut sebagai pemuda, dapat dilihat dari pergerakan pada masa sebelum kemerdekaan, masa revolusi kemerdekaan, masa rezim Orde Lama, dan pada masa rezim Orde Baru hingga pembangunan di era reformasi begitu besar. Meskipun dalam perjalanannya pernah ada ditunggangi oleh kepentingan politik seperti penggulingan terhadap Soekarno, para pemuda dan mahasiswa telah ditunggangi kalangan militer khususnya angkatan darat. 

Peran penting pemuda ini juga sempat dicatat Clifford Geertz meskipun bukan bagian utama dari penelitiannya. Dalam bukunya The Religion Of Java (1981), Geertz menyatakan bahwa, diantara kelompok-kelompok penting dalam perubahan sosial di Jawa ini adalah kelompok pemuda. Menurut Karl Mannheim (1950), pemuda dengan karakteristik yang khas, merupakan kekuatan tersebunyi sebagai agen pembaharuan (revitalizing agent) dalam setiap masyarakat. 

Dari beberapa pengamatan terhadap kaum muda terdidik, seperti mahasiswa fakultas pertanian, ataupun siswa yang sekolah di kejuruan pertanian, setelah mereka lulus, teramat jarang yang terjun di dunia pertanian. Kebanyakan mereka bekerja di luar sektor pertanian, kalaupun ada mereka menjadi penyuluh pertanian, bukan sebagai petani  yang kembali ke sawah berlumpur untuk menanam padi. Pernah suatu ketika saya tanya seorang sarjana pertanian, kenapa bekerja menjadi guru bahasa Inggris yang sebenarnya tidak menjadi kompetensinya, kok tidak menerapkan ilmunya di dunia pertanian. Larang-larang kuliah mosok lulus nyekel pacul mas…mas../mahal-mahal kuliah masak lulus pegang cangkul mas…mas” jawab sang sarjana.  

Ntah karena gengsi atau apa, yang pasti bertani sudah tidak menarik baginya. Seakan petani menjadi pekerjaan bagi kaum bawah (grasrood), bukan bagi dia, seorang sarjana. Atau ada hal lain, mungkin karena kebanyakan para petani dilihat dari status sosial menduduki peringkat terbawah. Meskipun punya lahan sendiri, nampak kesejahteraan tidak berpihak kepadanya. Kalaupun dia berpikir demikian, kata seorang kawan “kualat mengko karo petani, suwe-suwe ora iso mangan sego”.

Dari sekian ribu pemuda di daerah Pati utara, saya hanya menemuai sebagian kecil pemuda yang bertani. Mereka bernama Ro’uf, Anam, Rony dan Maidi. Umurannya masih teramat muda, Rouf kelahiran tahun 1984 dan sekarang sudah berumur 26 tahun, Anam menginjak umur 25 tahun dan lainnya lebih tua sedikit diatasnya. Mereka memulai bertani sudah beberapa tahun silam, sejak kecil sudah diajarkan bagaimana bertani dan sampai sekarang masih dipraktekkan dengan mengelola lahan persawahan milik keluarganya. Meskipun tidak sebanding, mereka layaknya Sukarno, Syahrir dan Tan Malaka yang mengawali pergerakan revolusi mewujudkan kemerdekaan dari usia muda.  

Hampir setiap malam, kami bertemu, berkumpul dan berdiskusi terkait masalah pertanian. Meskipun saya tidak dilahirkan dari keluarga petani, saya sedikit tahu tentang bagaimana cara bertani dan permasalahan-permasalahan petani. Memang mereka dan petani tua lainnya, merupakan kawan sekaligus guru yang banyak memberikan ilmu dan bersedia menularkan pengalaman bertani. Untuk mereka, saya ucapkan terima kasih. 

Salam hormatku untukmu kawan
Yang menjadikan bertani sebagai pilihan
Jika kau kuasai pangan
Kau sudah mengusai separo dari Negara
Jika kau berserikat
Satu langkah lagi kekuasaan menjadi milikmu
Tapi Ingat…..!!!
Jangan saling hisap antar saudara
Karena kekuatanmu ada pada saudaramu
Kawan, jangan sampai kau dijadikan komoditi…..

Chairullizza

Pati, 8 September 2010

1 komentar:

CATATAN RULLY