Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi alam yang kaya, subur, gemah ripah loh
jinawi. Sebagaimana ungkapan “tongkat kayu di lempar jadi tanaman” menunjukkan betapa
suburnya bangsa ini hingga banyak negara lain yang iri dengan potensi kekayaan
Indonesia. Kesuburan tanah
inilah yang kemudian menjadikan pertanian jadi tumpuan hidup mayoritas penduduk
Indonesia sehingga sektor pertanian telah banyak
menyumbang devisa bagi negara.
Dalam sejarahnya, peran petani juga
tidak bisa di nafikkan dalam perjalanan bangsa ini. Di era merebut kemerdekaan barisan petani
berada di garda depan tanpa rasa takut, meskipun hanya bersenjatakan bambu
runcing. Para petani juga berperan besar dalam pemenuhan support makanan kepada
para pejuang yang terus melakukan perlawanan terhadap panjajah. Pentingnya logistik
makanan dalam medan perang sama pentingnya dengan teknologi senjata, dalam
bahasanya bung Karno food as weppon. Hingga sampai sekarang, petani juga
masih menjadi ujung tombak dalam pemenuhan makanan seluruh rakyat Indonesia. Bisa
dikatakan, salah satu kekuatan Indonesia ada di petani. Di sisi yang
lain, kalau melihat kondisi diperdesaan, banyak petani yang masih belum bisa
hidup sejahtera. Kondisi yang didapat petani ini tidak sepadan dengan
apa yang telah mereka berikan kepada bangsa ini.
Dalam puasa tahun ini, saya sering menghabiskan
waktu menunggu buka puasa di sawah untuk sekedar melihat padi saudara, dalam trend
bahasa anak muda sekarang dikenal dengan istilah “ngabuburit”. Di sepanjang
hamparan sawah, beberapa kali saya hanya menjumpai sosok tua yang masih
memegang cangkul dan sabit. Jarang saya jumpai sosok muda yang masih bertani.
Mungkin, baginya dunia pertanian sudah tidak menarik lagi karena tidak
menjanjikan sebuah kemakmuran. Dan merantau ke kota besar seperti menjadi buruh
bangunan, buruh pabrik telah menjadi pilihan dibanyak kalangan pemuda sekarang,
bahkan sebagian menjadikan rantau sebagai gaya hidupnya. Di benakku timbul beberapa
pertanyaan, bagaimana kalau tidak ada regenerasi petani dan petani tua sudah
tidak ada? Bagaimana kecukupan pangan bagi Indonesia? Akankah bangsa ini kembali
ke tahun 60-an, menjadi pengimpor beras
terbesar di dunia? Ataukah beralih mengkonsumsi bahan makanan instant pabrikan?
Sejarah Indonesia mencatat, betapa kaum muda
mempunyai peranan penting dalam pergolakan sosial politik dalam membangun sebuah
bangsa. Peranan kaum muda, sebagaimana disebut sebagai pemuda, dapat dilihat
dari pergerakan pada masa sebelum kemerdekaan, masa revolusi kemerdekaan, masa
rezim Orde Lama, dan pada masa rezim Orde Baru hingga pembangunan di era
reformasi begitu besar. Meskipun dalam
perjalanannya pernah ada ditunggangi oleh kepentingan politik seperti
penggulingan terhadap Soekarno, para pemuda dan mahasiswa telah ditunggangi kalangan
militer khususnya angkatan darat.
Peran penting pemuda ini juga sempat dicatat
Clifford Geertz meskipun bukan bagian utama dari penelitiannya. Dalam bukunya The
Religion Of Java (1981), Geertz menyatakan bahwa, diantara
kelompok-kelompok penting dalam perubahan sosial di Jawa ini adalah kelompok
pemuda. Menurut Karl Mannheim (1950), pemuda dengan karakteristik yang khas,
merupakan kekuatan tersebunyi sebagai agen pembaharuan (revitalizing agent) dalam
setiap masyarakat.
Dari beberapa pengamatan terhadap kaum muda terdidik, seperti mahasiswa fakultas pertanian,
ataupun siswa yang sekolah di kejuruan pertanian, setelah mereka lulus, teramat
jarang yang terjun di dunia pertanian. Kebanyakan mereka bekerja di luar sektor
pertanian, kalaupun ada mereka menjadi penyuluh pertanian, bukan sebagai petani
yang kembali ke sawah berlumpur untuk
menanam padi. Pernah suatu ketika saya tanya seorang sarjana pertanian, kenapa
bekerja menjadi guru bahasa Inggris yang sebenarnya tidak menjadi kompetensinya,
kok tidak menerapkan ilmunya di dunia pertanian. “Larang-larang kuliah mosok lulus nyekel pacul mas…mas../mahal-mahal kuliah masak lulus pegang cangkul mas…mas” jawab sang sarjana.
Ntah karena gengsi atau apa, yang pasti bertani sudah
tidak menarik baginya. Seakan petani menjadi pekerjaan bagi kaum bawah (grasrood),
bukan bagi dia, seorang sarjana. Atau ada hal lain, mungkin karena
kebanyakan para petani dilihat dari status sosial menduduki peringkat terbawah.
Meskipun punya lahan sendiri, nampak kesejahteraan tidak berpihak kepadanya. Kalaupun
dia berpikir demikian, kata seorang kawan “kualat mengko karo petani, suwe-suwe
ora iso mangan sego”.
Dari sekian ribu pemuda di daerah Pati utara, saya hanya menemuai
sebagian kecil pemuda yang bertani. Mereka bernama Ro’uf, Anam, Rony dan Maidi.
Umurannya masih teramat muda, Rouf kelahiran tahun 1984 dan sekarang sudah
berumur 26 tahun, Anam menginjak umur 25 tahun dan lainnya lebih tua sedikit diatasnya. Mereka memulai
bertani sudah beberapa tahun silam, sejak kecil sudah diajarkan bagaimana
bertani dan sampai sekarang masih dipraktekkan dengan mengelola lahan
persawahan milik keluarganya. Meskipun tidak sebanding, mereka layaknya Sukarno,
Syahrir dan Tan Malaka yang mengawali pergerakan revolusi mewujudkan kemerdekaan
dari usia muda.
Hampir setiap malam, kami bertemu, berkumpul dan
berdiskusi terkait masalah pertanian. Meskipun saya tidak dilahirkan dari
keluarga petani, saya sedikit tahu tentang bagaimana cara bertani dan permasalahan-permasalahan
petani. Memang mereka dan petani tua lainnya, merupakan kawan sekaligus guru
yang banyak memberikan ilmu dan bersedia menularkan pengalaman bertani. Untuk
mereka, saya ucapkan terima kasih.
Salam hormatku
untukmu kawan
Yang menjadikan
bertani sebagai pilihan
Jika kau kuasai
pangan
Kau sudah mengusai separo
dari Negara
Jika kau berserikat
Satu langkah lagi
kekuasaan menjadi milikmu
Tapi Ingat…..!!!
Jangan saling hisap
antar saudara
Karena kekuatanmu ada
pada saudaramu
Kawan, jangan sampai
kau dijadikan komoditi…..
Chairullizza
Pati, 8 September
2010
sucses teruuzzz...
BalasHapus