"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Senin, 18 Januari 2010

Mengenang Bapak Pluralisme Indonesia (KH. Abdurrahman Wahid)

Kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, ras, agama maupun perbedaan pandangan dan pendapat dalam melihat realitas merupakan kekayaan dan kebangaan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain. Hal ini terbukti bahwa mulai kerajaan majapahit, mataram, sriwijaya, kerajaan Islam Demak sampai pada lahirnya Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya, suku, bahasa, keyakinan dan agama. Pluralitas suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Berbicara mengenai pluralisme di Indonesia, pembicaraan pasti akan mengarah kepada sosok Abdurahman Wahid atau yang lebih popular disapa Gus Dur. Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri kiai bisri syansuri). Beliau dilahirkan pada tanggal 4 sya’ban atau 7 september 1940 di kota Jombang-Jawa Timur tepatnya di Denayar yaitu: dalam rumah kakek dari pihak ibunya Kiai Bisri Syansuri. Kota Jombang yang terkenal dengan daerah tapal kuda yang merupakan basis pondok pesantren (kalangan islam tradisonalis). Nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman al-Dakhil, adapun nama Wahid diambil dari nama ayahnya Wahid Hasyim. Adapun kakek Gus Dur dari pihak bapak adalah pendiri Nahdlatul Ulama yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu organisasi sosial keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia bahkan di dunia.
Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila Gus Dur membanggakan warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apapun yang dikatakan orang mengenai manuver Gus Dur menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang mendalam terhadapnya. Gus Dur di kenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa di terimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia modern. Latar belakang faham keislaman tradisional –faham ahlussunnah wal jama’ah- serta pemikirannya yang liberal, Islam menurut Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung keragaman dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam lebih inklusif, toleran, egaliter dan demokratis.
Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari Gus Dur adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, penganut kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak di untungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini. Dengan kata lain, Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam.
Gus Dur merupakan orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Beliau sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih bagi Gus Dur, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah kayakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan, kelas, suku, ras, gender atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Gus Dur, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara.
Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Gus Dur dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi kebudayaan misalnya semua simbol atau identitas harus menggunakan ekspresi kebudayaan Arab. Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan kreativitas kebudayaan umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus utama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses arabisasi adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri.
Ide pribumisasi Islam Gus Dur merupakan kebutuhan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan dalam segi kehidupan bangsa. Pribumisasi Islam merupakan upaya dakwah (pola amar ma’ruf nahi mungkar diselaraskan dengan konsep mabadi khoiro ummah). Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Bahkan Gus Dur menolak adanya pencampuradukkan kebudayaan baik oleh kalangan agama maupun kalangan birokrasi karena kebudayaan sangat luas cakupannya yaitu kehidupan sosial manusia (human social life) itu sendiri. Birokratisasi kebudayan yang dilakukan akan menimbulkan kemandekan kreatifitas suatu bangsa. Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan pluralistic, pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan kata lain sentralisasi adalah sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya.
Gus Dur mengatakan demi tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Dalam konteks ke-Indonesi-an yang pluralistik hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena dalam satu aspeknya adalah merupakan agama hukum.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik ini, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, bagi Gus Dur, pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik. Chairullizza


0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY