Bukan aku, kamu atau dia. Tapi lebih tepatnya “kita”,
sekumpulan anak kos yang lagi belajar tentang kehidupan di kota Gudeg 2009 awal.
Melihatnya, orang pasti akan bernafsu dan berhasrat
untuk memilikinya. Dari cahaya redup, kulitnya terlihat gelap dan terasa halus,
badannya sedikit kenyal dan bodinya tak kalah indah dengan barang lokal. Didengar
dari namanya, orang akan berasumsi bahwa ia bukan berasal dari jawa. “Yokomato”,
kita memanggilnya, yang kata banyak orang
berasal dari Taiwan dan baru beberapa hari di Jogja. Dia hadir disaat kejenuhan
menghampiri kita akibat semakin bising dan ramainya kota Jogja. Saat itu,
pelindung yang dikenakan berwarna biru dengan beberapa patah kata tulisan
berwarna hitam- putih. Ia tidak sendirian, banyak teman bersamanya mulai dari ukuran
sampai usia pemakai-nya. Hanya dengan mengeluarkan beberapa rupiah saja, orang
akan mendapatkan kepuasan servis saat “menaikinya”.
Kita bukan berperan sebagai penikmat tapi lebih kepada
penyedia layanan jasa, tepatnya sebagai penghubung. Untuk mendapatkan
“Yokomato”, orang bisa hanya menekan beberapa digit nomor telepon, transaksi
dan Yokomato akan kita antar. Tapi kebanyakan kita yang datang dan menawarkan.
Dalam melakukan aktifitas menjajakan Yokomato kepada
lelaki hidung belang, di seluruh Jogja, kita terbagi menjadi dua tim. Ini
adalah strategi pemasaran biar lebih efektif dan efisien. Kita memulai dari
ujung selatan – timur Jogja, jika ditelusuri ke arah utara akan sampai ke
peninggalan candi bersejarah Prambanan. Perjalannya kita mulai daerah jl.
Wonosari Piyungan. Seterusnya, kita sampai di sekitar stadium kebanggaan warga
Sleman, tepatnya di selatan stadiun Maguwoharja. Dalam perjalanan, sesekali
kita berhenti untuk sekedar menghabiskan sebatang rokok. Satu hari bersama
Yokomato saat itu sangatlah menyenangkan, sepanjang perjalanan kami puas hanya
sekedar meliriknya. Ada satu Yokomato seakan mengundang
untuk selalu inggin diperhatikan, kehadirannya
yang selalu mengikuti kemanapun kita pergi menjadi
medan magnet yang daya tariknya begitu kuat, terlebih pada penampilan yang dia hadirkan. Asumsi itu tidak
tepat, dari gelegat gayanya, seakan dia sudah berkeinginan untuk segera pindah
tangan, tidak bersama kita lagi. Mengikuti jejak temannya yang lain, yang sudah
laku dan pindah ke tangan laki-laki hidung belang.
Melihat peluang bisnis yang menjanjikan, kita pun buka
perkantoran kecil sebagai tempat koordinasi dan tukar informasi. Bukan sewa
atau beli lahan untuk kantor, tapi dengan menyulap sebuah sudut ruangan kecil
tempat kami tinggal. Tepatnya di daerah Pugeran, Maguwoharjo. Didalam rumah
yang berwarna hijau itu, Yokomato berjejer manis dan berbaris rapi disamping
sofa berwarna merah. Kalaupun ada coustamer yang datang dan duduk di
sofa, mereka akan mendapatkan dua pemandangan yang menarik. Selain Yokomato,
disampingnya juga dapat menikmati film atau sinetron yang menegangkan dari
sebuah kotak kecil ukuran 14 inci. Ya, sebuah televisi buatan pabrikan Cina.
Selain mendapatkan dua kenikmatan tadi, coustomer akan mendapatkan
fasilitas tambahan dengan request lagu yang berasal dari salah satu
kamar. Bebas, semua lagu ada, mulai dari dangdut sampai rock, mulai dari
kroncong sampai RnB bahkan untuk mereka yang suka menikmati lagu relegi juga tersedia.
Harga yang kita tawarkan untuk satu Yokomato tidaklah
mahal, lebih murah dibanding dengan barang lokal. Penghasilan yang kita
dapatkan pun tidaklah banyak, hanya beberapa persen dari uang hasil menjajakan
Yokomato. Selebihnya diserahkan kepada seorang kolega, orang yang mendatangkan
Yokomato ke Jogja, yang jaraknya hanya beberapa kilometer ke arah selatan dari
tempat kita tinggal. Mr. D namanya.
Inilah sebuah kenangan kebersamaan kita bersama Yokomato.
Sebuah merek dagang, tepatnya merek “ban dalam sepeda montor” yang
pernah kita pasarkan, meskipun hanya beberapa hari saja. Kita datangi satu toko
ke toko lain menawarkan Yokomato layaknya seorang sales. Kebanyakan para
pembeli Yokomato, kita menyebutnya “laki-laki hidung belang”. Mereka bukan
seorang playboy atau para penikmat kepuasan para perempuan. Mereka kebanyakan
masyarakat yang berprofesi sebagai tukang tambal ban dan montir bengkel
–kebanyakan saat kami menjumpainya, wajahnya terdapat belang akibat terkena oli
bekas--. Kondisi inilah kenapa kita menyebutnya mereka sebagai laki-laki hidung
belang.
Aktifitas ini, berawal dari rasa “iseng” yang pada
akhirnya tidak sedikit pengalaman serta ilmu yang kita dapatkan. Sebuah
tantangan dalam mempraktekkan ilmu marketing, yang slama ini tidak pernah kita
dapatkan di bangku kuliah. Kenangan itu sampai sekarang tak dapat terlupakan
kawan…!!!. Ketika ingat “Yokomato” akan ingat pula Indra, Ismail, Abas, Iip,
Kang Muis dan Dido. Ha….ha…., tawa pun tak terhindarkan, meskipun tak bersama
kalian. Semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin.
Man Jadda WaJadda…!!!
Chairullizza
Pati, 26 Sepetember 2010
0 komentar:
Posting Komentar