"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Selasa, 18 Oktober 2011

Antara “Kita” dan Yokomato


Bukan aku, kamu atau dia. Tapi lebih tepatnya “kita”, sekumpulan anak kos yang lagi belajar tentang kehidupan di kota Gudeg 2009 awal.
Melihatnya, orang pasti akan bernafsu dan berhasrat untuk memilikinya. Dari cahaya redup, kulitnya terlihat gelap dan terasa halus, badannya sedikit kenyal dan bodinya tak kalah indah dengan barang lokal. Didengar dari namanya, orang akan berasumsi bahwa ia bukan berasal dari jawa. “Yokomato”,  kita memanggilnya, yang kata banyak orang berasal dari Taiwan dan baru beberapa hari di Jogja. Dia hadir disaat kejenuhan menghampiri kita akibat semakin bising dan ramainya kota Jogja. Saat itu, pelindung yang dikenakan berwarna biru dengan beberapa patah kata tulisan berwarna hitam- putih. Ia tidak sendirian, banyak teman bersamanya mulai dari ukuran sampai usia pemakai-nya. Hanya dengan mengeluarkan beberapa rupiah saja, orang akan mendapatkan kepuasan servis saat “menaikinya”.
Kita bukan berperan sebagai penikmat tapi lebih kepada penyedia layanan jasa, tepatnya sebagai penghubung. Untuk mendapatkan “Yokomato”, orang bisa hanya menekan beberapa digit nomor telepon, transaksi dan Yokomato akan kita antar. Tapi kebanyakan kita yang datang dan menawarkan.
Dalam melakukan aktifitas menjajakan Yokomato kepada lelaki hidung belang, di seluruh Jogja, kita terbagi menjadi dua tim. Ini adalah strategi pemasaran biar lebih efektif dan efisien. Kita memulai dari ujung selatan – timur Jogja, jika ditelusuri ke arah utara akan sampai ke peninggalan candi bersejarah Prambanan. Perjalannya kita mulai daerah jl. Wonosari Piyungan. Seterusnya, kita sampai di sekitar stadium kebanggaan warga Sleman, tepatnya di selatan stadiun Maguwoharja. Dalam perjalanan, sesekali kita berhenti untuk sekedar menghabiskan sebatang rokok. Satu hari bersama Yokomato saat itu sangatlah menyenangkan, sepanjang perjalanan kami puas hanya sekedar meliriknya. Ada satu Yokomato seakan mengundang untuk selalu inggin diperhatikan, kehadirannya yang selalu mengikuti kemanapun kita pergi menjadi medan magnet yang daya tariknya begitu kuat, terlebih pada penampilan yang dia hadirkan. Asumsi itu tidak tepat, dari gelegat gayanya, seakan dia sudah berkeinginan untuk segera pindah tangan, tidak bersama kita lagi. Mengikuti jejak temannya yang lain, yang sudah laku dan pindah ke tangan laki-laki hidung belang.
Melihat peluang bisnis yang menjanjikan, kita pun buka perkantoran kecil sebagai tempat koordinasi dan tukar informasi. Bukan sewa atau beli lahan untuk kantor, tapi dengan menyulap sebuah sudut ruangan kecil tempat kami tinggal. Tepatnya di daerah Pugeran, Maguwoharjo. Didalam rumah yang berwarna hijau itu, Yokomato berjejer manis dan berbaris rapi disamping sofa berwarna merah. Kalaupun ada coustamer yang datang dan duduk di sofa, mereka akan mendapatkan dua pemandangan yang menarik. Selain Yokomato, disampingnya juga dapat menikmati film atau sinetron yang menegangkan dari sebuah kotak kecil ukuran 14 inci. Ya, sebuah televisi buatan pabrikan Cina. Selain mendapatkan dua kenikmatan tadi, coustomer akan mendapatkan fasilitas tambahan dengan request lagu yang berasal dari salah satu kamar. Bebas, semua lagu ada, mulai dari dangdut sampai rock, mulai dari kroncong sampai RnB bahkan untuk mereka yang suka menikmati lagu relegi juga tersedia.   
Harga yang kita tawarkan untuk satu Yokomato tidaklah mahal, lebih murah dibanding dengan barang lokal. Penghasilan yang kita dapatkan pun tidaklah banyak, hanya beberapa persen dari uang hasil menjajakan Yokomato. Selebihnya diserahkan kepada seorang kolega, orang yang mendatangkan Yokomato ke Jogja, yang jaraknya hanya beberapa kilometer ke arah selatan dari tempat kita tinggal. Mr. D namanya. 
Inilah sebuah kenangan kebersamaan kita bersama Yokomato. Sebuah merek dagang, tepatnya merek “ban dalam sepeda montor” yang pernah kita pasarkan, meskipun hanya beberapa hari saja. Kita datangi satu toko ke toko lain menawarkan Yokomato layaknya seorang sales. Kebanyakan para pembeli Yokomato, kita menyebutnya “laki-laki hidung belang”. Mereka bukan seorang playboy atau para penikmat kepuasan para perempuan. Mereka kebanyakan masyarakat yang berprofesi sebagai tukang tambal ban dan montir bengkel –kebanyakan saat kami menjumpainya, wajahnya terdapat belang akibat terkena oli bekas--. Kondisi inilah kenapa kita menyebutnya mereka sebagai laki-laki hidung belang.
Aktifitas ini, berawal dari rasa “iseng” yang pada akhirnya tidak sedikit pengalaman serta ilmu yang kita dapatkan. Sebuah tantangan dalam mempraktekkan ilmu marketing, yang slama ini tidak pernah kita dapatkan di bangku kuliah. Kenangan itu sampai sekarang tak dapat terlupakan kawan…!!!. Ketika ingat “Yokomato” akan ingat pula Indra, Ismail, Abas, Iip, Kang Muis dan Dido. Ha….ha…., tawa pun tak terhindarkan, meskipun tak bersama kalian. Semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin. Man Jadda WaJadda…!!!

Chairullizza
Pati, 26 Sepetember 2010

0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY