"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Senin, 17 Oktober 2011

Ketika Manusia Berusaha Menjadi "Tuhan"


Malam ini cuaca terasa dingin disertai dengan gerimis kecil. Bulan pun enggan untuk menampakkan diri, ia lebih memilih bersembunyi dibalik mendung. Aku berada di rumah teman perempuan desa sebelah, dua km ke arah utara dari desa tempat aku tinggal. Usianya lebih muda enam tahun dibawahku, tepat pada malam ini umurnya memasuki 20 tahun. Dia adalah mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogja, yang baru aku kenal beberapa bulan dari jejaring pertemanan FB. Secangkir teh panas dan kue kering yang masih terbungkus plastik, menjadikan suasana malam ini lebih sedikit hangat. Sesekali kuhisap rokok buatan pabrikan kota Kudus di jepitan diantara jari kiriku, sekedar untuk menghilangkan rasa grogi. Dari celah pintu, kulihat jarum jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Tak lama kemudian, dari arah pukul sembilan dari teras tempat aku duduk, datang dua mobil berplat nomor ”H” warna hitam menuju ke rumah sebelah. Ada beberapa orang yang keluar dari mobil, jumlahnya delapan orang dan tak satupun kulihat ada anak kecil. Kedua orang tua temenku juga ikut keluar rumah menuju rumah tersebut yang jaraknya hanya beberapa meter. Belakangan aku ketahui, rumah itu adalah milik nenek temen perempuanku, yang sekarang lagi berbaring sakit di Rumah Sakit.
Ekspresi wajah temen perempuanku berubah seketika, terlihat gelisah dan pucat layu. “Mereka yang datang adalah paman dan bibiku dari Semarang. Malam ini ada pertemuan keluarga untuk mencari jalan keluar bagaimana cara terbaik untuk mengakhiri perderitaan nenek, mempermudah kematian nenek karena kasihan kalau melihatnya. Kami semua sangat sayang padanya, jalan ini mungkin yang terbaik buat nenek. Nenekku itu orang jawa kuno, kata ibu, nenek memiliki ilmu kesaktian kejawen. Kondisinya sekarang sangat memprihatinkan, sudah lama tak sadarkan diri di ICU. Sakitnya banyak, komplikasi…..” katanya. Bola mata indahnya berkaca-kaca, sesekali tetesan air matanya keluar menelusuri lekukan pipi sebelah kanan. Tak banyak yang aku bisa lakukan, aku hanya bisa terdiam, mendengarkan dan berusaha merasakan kesedihan yang seharusnya hari ini menjadi hari bahagia merayakan ulang tahun-Nya. Sikap pasif yang jarang aku alami.
Memang, tidak sedikit orang jawa kuno yang memiliki ilmu kesaktian (masyarakat lokal menyebutnya gembolan) - kata banyak orang -- orang ini sulit meninggal jika ilmu kesaktian dalam tubuhnya belum sepenuhnya hilang, meskipun dalam kondisi sakit parah. Seperti yang dialami oleh salah satu kerabat kakekku beberapa tahun silam. “Mbah Kie” panggilannya. Seorang perempuan jawa yang rumahnya sekitar enam km ke arah selatan dari desaku. Dari cerita anak dan keponakannya, beliau memiliki banyak ilmu kesaktian sejak masa mudanya. Ketika aku tanya salah satu-Nya, mereka enggan memberitahuku, seakan menjadi sesuatu yang pantas untuk dirahasiakan. Saat itu kondisi sang nenek menghadapi “sakratul maut”, berbaring lemah di balai jati. Atas saran dari seseorang, keluarga diminta mendatangi “orang pintar” meminta sesuatu untuk menghilangkan ilmu kesaktian sang nenek, biar diberi kemudahan waktu meninggalnya. Orang pintar yang didatangi itu –dari pengamatanku lebih mendekati sosok “kiai” dan didepan rumahnya terdapat bangunan masjid-- memberikan selembar kertas dengan beberapa tulisan yang lebih mendekati tulisan arab. Atas saran orang pintar tadi, tulisan itu dibaca di dekat sang nenek. Dan tak lama kemudian, sang nenek dengan tenang meninggal dunia. Bagaimana bisa? tanyaku dalam hati. Tapi inilah yang dipercayai mereka, sesuatu yang sulit untuk aku mengerti. Wallahu A’lam
Berbeda dengan cara “orang pintar” tadi, dalam dunia kedokteran, mengakhiri hidup seseorang dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit dikenal dengan istilah euthanasia, sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang). Bagi mereka yang setuju menganggap bahwa euthanasia merupakan pilihan terbaik yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya tindakan yang tidak manusiawi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama. Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang.
Dari beberapa literatur yang pernah aku baca, euthanasia ini bisa ditinjau dari berbagai aspek seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Pertama, Euthanasia aktif. Adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan seperti memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan, selain itu juga bisa dengan mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya. Kedua, Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan. Ketiga, Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Keempat, Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Dalam kode etik kedokteran Indonesia telah dikatakan bahwa "Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani". Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers). Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medis (yang sebetulnya tindakan itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Untuk temen perempuanku, hidup matinya seseorang ada ditangan Tuhan. Semoga Tuhan memberi kesembuhan kepada sang nenek. Amin…!! Happy Birthday…….

Chairullizza
Pati, 28 September 2010

0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY