Malam ini cuaca terasa dingin
disertai dengan gerimis kecil. Bulan pun enggan untuk menampakkan
diri, ia lebih memilih bersembunyi dibalik mendung. Aku berada di rumah teman perempuan
desa sebelah, dua km ke arah utara dari desa tempat aku tinggal. Usianya lebih
muda enam tahun dibawahku, tepat pada malam ini umurnya memasuki 20 tahun. Dia
adalah mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogja, yang baru aku kenal beberapa
bulan dari jejaring pertemanan FB. Secangkir teh panas dan kue kering yang
masih terbungkus plastik, menjadikan suasana malam ini lebih sedikit hangat.
Sesekali kuhisap rokok buatan pabrikan kota Kudus di jepitan diantara jari
kiriku, sekedar untuk menghilangkan rasa grogi. Dari celah pintu, kulihat jarum jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Tak lama kemudian, dari arah
pukul sembilan dari teras tempat aku duduk, datang dua mobil berplat nomor ”H”
warna hitam menuju ke rumah sebelah. Ada beberapa orang yang keluar dari mobil,
jumlahnya delapan orang dan tak satupun kulihat ada anak kecil. Kedua orang
tua temenku juga ikut keluar rumah menuju rumah tersebut yang jaraknya hanya
beberapa meter. Belakangan aku ketahui, rumah itu adalah milik nenek temen
perempuanku, yang sekarang lagi berbaring sakit di Rumah Sakit.
Ekspresi wajah temen perempuanku berubah seketika, terlihat gelisah dan
pucat layu. “Mereka yang datang adalah paman dan bibiku dari Semarang. Malam
ini ada pertemuan keluarga untuk mencari jalan keluar bagaimana cara terbaik untuk
mengakhiri perderitaan nenek, mempermudah kematian nenek karena kasihan kalau
melihatnya. Kami semua
sangat sayang padanya, jalan ini mungkin yang terbaik buat nenek. Nenekku itu
orang jawa kuno, kata ibu, nenek memiliki ilmu kesaktian kejawen. Kondisinya
sekarang sangat memprihatinkan, sudah lama tak sadarkan diri di ICU. Sakitnya
banyak, komplikasi…..” katanya. Bola mata indahnya berkaca-kaca, sesekali tetesan
air matanya keluar menelusuri lekukan pipi sebelah kanan. Tak banyak yang aku
bisa lakukan, aku hanya bisa terdiam, mendengarkan dan berusaha merasakan
kesedihan yang seharusnya hari ini menjadi hari bahagia merayakan ulang tahun-Nya.
Sikap pasif yang jarang aku alami.
Memang, tidak sedikit orang
jawa kuno yang memiliki ilmu kesaktian (masyarakat lokal menyebutnya
gembolan) - kata banyak orang -- orang ini sulit meninggal jika ilmu
kesaktian dalam tubuhnya belum sepenuhnya hilang, meskipun dalam kondisi sakit
parah. Seperti yang dialami oleh salah satu kerabat kakekku beberapa tahun silam.
“Mbah Kie” panggilannya. Seorang perempuan jawa yang rumahnya sekitar enam km ke
arah selatan dari desaku. Dari cerita anak dan keponakannya, beliau memiliki
banyak ilmu kesaktian sejak masa mudanya. Ketika aku tanya salah satu-Nya,
mereka enggan memberitahuku, seakan menjadi sesuatu yang pantas untuk
dirahasiakan. Saat itu kondisi sang nenek menghadapi “sakratul maut”,
berbaring lemah di balai jati. Atas saran dari seseorang, keluarga diminta mendatangi
“orang pintar” meminta sesuatu untuk menghilangkan ilmu kesaktian sang nenek,
biar diberi kemudahan waktu meninggalnya. Orang pintar yang didatangi itu –dari
pengamatanku lebih mendekati sosok “kiai” dan didepan rumahnya terdapat
bangunan masjid-- memberikan selembar kertas dengan beberapa tulisan yang lebih
mendekati tulisan arab. Atas saran orang pintar tadi, tulisan itu dibaca di
dekat sang nenek. Dan tak lama kemudian, sang nenek dengan tenang meninggal
dunia. Bagaimana bisa? tanyaku dalam hati. Tapi inilah yang dipercayai mereka,
sesuatu yang sulit untuk aku mengerti. Wallahu A’lam
Berbeda dengan cara “orang
pintar” tadi, dalam dunia kedokteran, mengakhiri hidup seseorang dengan cara
yang mudah tanpa rasa sakit dikenal dengan istilah euthanasia, sering disebut
juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati
dengan tenang). Bagi mereka yang setuju menganggap bahwa euthanasia merupakan
pilihan terbaik yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju
menganggapnya tindakan yang tidak manusiawi yang bertentangan dengan
nilai-nilai moral, etika dan agama. Secara etimologis euthanasia berarti
kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka mengadakan euthanasia arti
sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Akan tetapi
dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan
yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini,
euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena
kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar
dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar
pilihan rasional seseorang.
Dari beberapa literatur yang
pernah aku baca, euthanasia ini bisa ditinjau dari berbagai aspek seperti cara
pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan
lain-lain. Pertama, Euthanasia aktif. Adalah perbuatan yang dilakukan
secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan
secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja
cepat dan mematikan seperti memberi tablet sianida atau suntikan zat yang
segera mematikan, selain itu juga bisa dengan mencabut oksigen atau alat bantu
kehidupan lainnya. Kedua, Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan
atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan
hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan
pertolongan dihentikan. Ketiga, Euthanasia jenis ini adalah Penghentian
tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Keempat,
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam
keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam
hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan
pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Dalam kode etik kedokteran
Indonesia telah dikatakan bahwa "Seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani". Dengan kata
lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god).
Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang
menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan
itu sendiri (life savers, not life judgers). Bila dirasakan penyakit
pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan
pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya. Akan
tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan
mengada-ada melakukan tindakan medis (yang sebetulnya tindakan itu sudah tidak
diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari
keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Untuk temen perempuanku,
hidup matinya seseorang ada ditangan Tuhan. Semoga Tuhan memberi kesembuhan kepada
sang nenek. Amin…!! Happy Birthday…….
Chairullizza
Pati, 28 September 2010
0 komentar:
Posting Komentar