"TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SEMOGA BERMANFAAT...!! SALAM"

Rabu, 19 Oktober 2011

Fundamentalisme Islam; Antara Aksi dan Reaksi

Istilah Fundamentalisme bukan fenomena baru lagi, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh akademisi barat dalam konteks kesejarahan keagamaan dalam masyarakatnya sendiri. Istilah fundamentalisme ini muncul pertama kali dikalangan penganut kristen protestan di Amerika Serikat, sekitar tahun 1901. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu sendiri secara rigid dan literalis. Mereka ini merupakan bagian dari fenomena response kalangan konservatif terhadap perkembangan teologi liberal-modernisme dan gejala sekularisme. Gerakan ini ditandai dengan terbitnya 12 buku kecil yang berjudul “The Fundamentals : A Testimony of the Truth”, yang sejak saat itu jutaan eksemplar buku-buku tersebut disebarkan. Tulisan ini, oleh para penerjemah dilaporkan menggunakan pendekatan scientifull clerial dari ahli-ahli protestan terhadap studi tentang Injil.

Frans Magnis Suseno memahami fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan dimana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran ekplisit agamanya. Istilah fundamentalisme dengan merujuk pada tradisi kitab suci erat kaitannya dengan istilah skripturalisme. Seperti yang dituturkan Karen Armstrong, fenomena “fundamentalisme” keagamaan ini sungguh mengejutkan di akhir abad ke-20. Fundamentalisme yang dimaksud tidak hanya terjadi dalam agama keluarga semit—Yahudi, Kristen, dan Islam—tetapi di seluruh agama-agama “formal” dunia. Fundamentalisme agama adalah keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” pada kondisi saat ini. Lebih jauh Armstrong berpendapat, fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, tetapi sebagai gerakan melawan modernitas yang memarginalkan dan mengakibatkan krisis multidimensi.

Dalam pemberian istilah fundamentalisme dalam tradisi Islam, menurut Seyyed Hoesein Nasr, nampak sekali terjadi ambiguitas makna, Fundamentalisme yang pada awalnya berlaku dalam konteks Kristen di Amerika Serikat, kini fundamentalisme telah menjadi ikon sendiri terutama terhadap kelompok agama tertentu yang bersifat konservatif.

Menurut Bassam Tibi, melukiskan dua poin utama dalam tubuh fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme agama sebagai sebuah fenomena politik yang tidak terbatas di dunia Islam, adalah politisasi agama yang agresif yang dilakukan demi mencapai tujuan-tujuan agama. Kedua, Fundamentalisme, Islam atau yang lain, hanya bentuk superfisial dari terorisme dan ektrimisme.

Diantara fundamentalisme keagamaan tersebut, gerakan fundamentalisme Islamlah yang paling nampak. Mitos kaum fundamentalis terhadap kemunduran umat muslim ini dijadikan sebagai ideologi gerakan mereka. Menurutnya solusi terhadap masalah kemunduran umat satu-satunya jalan adalah dengan kembali ke Islam. Mengimplementasikan syari’at agama dalam kehidupan pribadi, sosial menurut mereka merupakan obat untuk mengembalikan kejalaan dan kemurnian Islam.

Doktrin sentral dalam ideologi Islam menurut fundamentalisme adalah kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Fundamentalisme Islam melihat bahwa corak pengaturan doktrin di dalam al-Quran dan Sunnah Nabi telah mancakup semua aspek kehidupan manusia. Satu-satunya tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah merealisasikan perwujudan tuhan dengan melaksanakan hukumnya secara patut dan taat.

Fundamentalisme juga cenderung memandang negatif terhadap pluralitas. Pluralitas yang dimaksud adalah bukan saja diartikan secara internal kaum muslimin sendiri, tetapi juga pluralis pada umumnya, termasuk pluralitas etnik, budaya dan agama. Tokoh-tokoh fundamentalis pada umumnya, secara tegas membagi masyarakat kepada dua golongan. Kedua golongan tersebut sering disebut dengan istilah “masyarakat Islami” dan “masyarakat jahili”. Diantara kedua komunitas ini dipandang mereka tidak ada bentuk kompromi sedikitpun, adaptasi maupun akulturasi.

Dalam pandangan Azyumardi Azra menyebutkan bahwa fundamentalisme Islam tidak sepenuhnya baru dan sangat keliru jika penisbatan kemunculannya semata-mata dikaitkan dengan dunia barat modern. Sebelum munculnya gerakan fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut dengan prototype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul pada masa-masa belakangan. Fundamentalisme Islam pra modern disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat Islam sendiri. Karena itu ia lebih genuine dan inward oriented, yakni berorientas ke dalam umat Islam sendiri.

Dalam ranah sejarah, fenomena munculnya fundamentalisme Islam sebenarnya merupakan kelanjutan episode dari gerakan Khawarij pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan gerakan yang radikal dan ekstrim, kelompok Khawarij dapat disebut sebagai gerakan fundamentalisme Islam klasik yang mempengharuhi gerakan fundamentalisme di sepanjang sejarah. Pada masa berikutnya, gerakan fundamentalisme pra modern muncul di semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al- Wahhab (1703-1792). Gerakan ini banyak dipengaruhi gagasan Ibnu Taimiah. Dengan ketokohan Ibnu ‘Abd al-Wahhab, gerakan wahhabi berhasil menggusur tema memurnikan Islam dari tahayul, bid’ah dan khurafat dan mendorong gerakan ini menjadi radikal. Dalam melancarkan gerakannya, Ibnu ‘Abd al-Wahhab melakukan koorporasi dengan Ibnu Sa’ud. Keduanya menggemakan gerakan jihad kepada kaum Muslimin dan menghancurkan segala bentuk praktek keagamaan yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang ‘murni’. Gerakan wahabbisme kemudian menemukan bentuk modernnya pada gerakan Salafiyyah sebagaimana dikumandangkan oleh Rasyid Ridha. Kemunculan gerakan ini pada dasarnya berupaya untuk membangkitkan kembali kehidupan para sahabat Nabi sebagai tipe ideal.
Sedangkan gerakan fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon atas Barat, meskipun tema-tema berkaitan dengan inward oriented tetap menjadi concern dan pilihan ideologis mereka. Gerakan semacam ini dapat kita saksikan pada pola al-Ikhwanul al-Muslimin di Mesir dengan Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb sebagai kontributor idiologinya dan gerakan fundamentalisme lainnya.

Lahirnya al-Ikhwanul al-Muslimin (persaudaraan muslim) sebagai sebuah organisasi garda depan kebangkitan Islam di Mesir dianggap sebagai cikal bakal lahirnya “fundamentalisme” Islam, khususnya di Timur Tengah. Al-Ikhwanul al-Muslimin didirikan di Ismailiyah (Mesir) pada tahun 1928 oleh Hasan Al-Banna (1906-1949) yang nama lengkapnya Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna. Al-Ikhwanul al-Muslimin semula merupakan sebuah jamaah yang murni relegius dan filantropis, yang bertujuan menyebarkan moral Islam dan amal baik. Kemunculan al-Ikhwanul al-Muslimin merupakan respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam (khususnya Timur Tengah), berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis barat.

Pembentukan militansi al-Ikhwan al-Muslimun didasari oleh keimanan yang berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada tiga hal yang esensial dalam teori pembentukan militansi jiwa muslim dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yaitu intelektual, spekfiksi nilai-nilai warisan Islam dan konsistensi anggotanya terhadap agama.
Hassan Al-Banna percaya bahwa kelemahan dan kerentanan dunia muslim terhadap dominasi dunia barat disebabkan karena terjadinya penyimpangan kaum muslim dari ajaran-ajaran Islam ‘sejati’. Namun, disisi lain, ia cenderung membenarkan system demokrasi parlementer ala Barat, kendati pada saat yang sama menolak diberlakukannya system multipartai di negara Islam.

Pada tahun 1933, al-Ikhwan al-Muslimun berubah menjadi sebuah gerakan politik dengan meniadakan unsur-unsur non politik, sekalipun dengan tetap mempertahankan gelar mursyid (pembimbing) bagi para pemimpin terutama bagi al-Banna selaku mursyid ‘am (pembimbing umum) disamping itu juga, dalam al-Ikhwan al-Muslimun, terdapat organisasi khusus (at-Tanzim al-Khasy). Organisasi khusus ini, merupakan semacam organisasi militer al-Ikhwan al-Muslimun yang pada tahun 1936 ketika terjadi pemberontakan Arab di Palestina, pasuka khusus ini mendemontrasikan kemampuan dan persejataannya.

Pada akhir 1968 dan awal 1949, al-Ikhwan al-Muslimun mulai melancarkan serangan terhadap kepentingan Inggris dan Yahudi di Mesir, yang menyebabkan konfrontasi antara al-Ikhwanul al-Muslimin dan pemerintahan Mesir, tercapai puncaknya dengan terbunuhnya Perdanma Menteri Mahmud Fahmi Al-Nuqrasyi dan Al-Banna sendiri. Terjadinya Revolusi 1952 di Mesir tidak mensyurutkan konflik antara al-Ikhwanul al-Muslimin dan rezim baru di Mesir, bahkan pada tahun 1954 dan 1965 justeru terjadi konfrontasi berdarah, dimana banyak anggota al-Ikhwanul al-Muslimin yang ditahan, disiksa dan dibunuh oleh rezim Gammal Abdul Nasser. Salah satu yang ditahan pada masa itu adalah idiolog al-Ikhwanul al-Muslimin, Sayyid Quth. Pada tingkat ideologis umumnya, penahanan Quthb dan tokoh-tokoh al-Ikhwanul al-Muslimin lannya mendorong dilakukannya revisi terhadap pemikiran al-Ikhwanul al-Muslimin yang bagian terbesarnya dipengaruhi oleh kebencian kepada rezim pemerintah.

Sayyid Quthb memilih concern terhadap gerakan fundamentalisme Islam dan menjadikan al-Ikhwanul al-Muslimin sebagai kendaraan politik dan sekaligus membumikan pemikiran dan aksi gerakan pembangkitan Islamnya. Quthb ternyata memiliki doktrin sentral mengenai konsep “jahiliah modern”, hubungan Islam dan bahaya kapitalisme yang diadopsi dari Abu ‘Ala al-Maududi pada tahun 1939. Melalui karya al-Maududi seperti Jihad In Islam, Islam and Jahiliyah dan The Principle of Government dan karya muridnya, Abu Hasan ‘Ali al-Nahdwi, pemikiran Quthb dipengaruhi terutama ketika menulis karyanya The Stuggle Between Islam and Capitalism. Paradigma inilah yang mendorong masuknya Quthb ke komunitas al-Ikhwanul al-Muslimin.

Gagasan sentralnya yang mengikuti al Maududi dan al Nadwi membuat Quthb makin gencar mengkampanyekan anti barat. Bahkan ia memiliki prinsip yang kuat bahwa Islam sudah saatnya menumpas jahiliyah modern yang menurutnya sama dengan jahiliyyah periode awal sebelum Islam. Untuk meneguhkan kembali cita-cita idealnya, Quthb menyusun strategi perjuangan; Pertama, masyarakat muslim harus memiliki sense of crisis dan melakukan perubahan fundamental dan radikal. Hal ini dilakukan untuk memperkuat basis pengetahuan komunitas muslim berkaitan dengan nilai-nilai dasar, moral dan etika Islam. Kedua, Jihad dijadikan sebagai strategi untuk menumbangkan dominasi modernitas. Semua upaya ini dilakukan dalam rangka supremasi syari’ah sehingga mendapat tempat di khalayak kaum muslim. Chairullizza


Bahan Bacaan

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam: Survey Historis dan Doktrinal”, Jurnal Ulumul Qu’an, Nomor 3, Vol. IV, th. 1993. :19
______________, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
Bassam Tibi, The Chellenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, California: Uinivercity Of California, 1998.
Hasan Al-Banna, Memoara al-Banna Untuk Dakwah dan Para Dai’nya, terj. Salafuddin Abu Sayyid & Hawin Murtadha, cet. II, Solo: Era Intermedia, 1999.
______________, Risalah Pergerakan Islam Ikhwanul Muslimin ,terj. Anis Matta, Surakata: Era Inter Media, 1999.
Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, alih bahasa Sutris Wahono dkk., Bandung: Mizan, 2000.
Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2007.
Tohir Rahmat Ashari, Konsep Pergerakan Al-Ikhwanuul Muslimun: Upaya Mengenal Hasan al-Banna Lebih Dekat, dalam Islam Garda Depan; Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Aunul Abid Shah, cet.I, Bandung: Mizan, 2000.

0 komentar:

Posting Komentar

CATATAN RULLY